6 Sep 2015

Menikah

“Kamu boleh disebut dewasa, kalau perut orang lain sudah menjadi tanggung jawabmu.”

Apa yang kamu bayangkan setiap kali denger kata nikah?

Takut?

Belum siap?

Atau yang lainnya?

Saya adalah remaja yang sangat mendambakan pernikahan. Bukan soal waktu, karena saya masih terlalu muda. Tapi, soal momen yang bisa saya lakukan setiap hari bersama seorang istri.

Dalam hidup, semua orang butuh rekan.         Bahkan bagi mereka—yang sangat egois sekali pun, rekan adalah pilar terpenting dalam mencapai keberhasilan. Rekan terbaik bukan mereka yang memiliki bakat, juga bukan mereka yang memiliki penampilan memikat. Rekan terbaik adalah mereka yang mampu menyokong kita dari belakang—melimpahkan pacuan semangat setiap hari, tanpa mengharapkan timbal balik.

Bagi saya pribadi, rekan terbaik adalah seorang istri.

Saya belum menikah, tentu saja, saya telah menyebutkannya di awal. Tapi, apakah sebuah kesan harus terbentuk setelah kita masuk ke dalamnya? Jelas tidak!

Contoh sederhananya adalah traveller, mereka percaya bahwa Moskow adalah kota terindah di Eropa. Ketika ditanya kedatangannya ke sana, mereka akan menjawab, “Kita belum pernah ke Moskow. Tapi perkara indah, kita semua tau dari pengalaman mereka yang pernah dateng ke sana.

Baik, saya ulangi. Saya belum menikah, namun cukup sering mendengar pengalaman menarik dari orang dekat tentang indahnya pernikahan.

…..

Selama hidup, apakah kamu pernah membayangkan satu hal hebat meski hanya tersimpan di dalam kepala? Kalau pernah, koneksi kita mungkin senada. Karena saya sering melakukan itu setiap harinya.

Termasuk saat ini.

Dalam tulisan ini, saya akan menumpahkan beberapa bayangan indah tentang pernikahan. Saya tau, konsepsi kebahagiaan tiap orang tidak sama. Tapi soal percintaan, semua kebahagiaan bersifat universal. Nggak percaya? Ini adalah poin-poin sederhana yang menjelaskan betapa indahnya sebuah pernikahan. Here they are..

29 Jul 2015

Antara Nahla dan Mesut Ozil

Salah satu temen lama gue pernah bilang, “Hidup tanpa sosok idola bagaikan menulis tanpa referensi.” Setelah gue pikir-pikir, bener juga ya, soalnya kita sering niru apa yang mereka tebar di depan media.

Jadi, untuk bagian ini, kalian harus setuju kalau dalam hidup kita wajib punya (paling nggak) satu sosok idola.

Sebuah cerita unik tentang idola pernah saya renungkan dalam diri seorang gadis cerdas bernama Nahla Adhimah. Singkat cerita, Nahla adalah gadis yang terlahir dengan tumpukan mimpi. Dan, mimpi terbesarnya dalam hidup adalah: bisa terbang dan mendarat di Jerman.

Kenyataan ini bikin dia berambisi untuk mengejar mimpinya. Dia membaca beberapa artikel yang berhubungan dengan Jerman, membaca kamus berbahasa Jerman, mengambil prodi sastra Jerman, dan yang terakhir, dia mengagumi TIMNAS sepakbola Jerman!

Kekaguman terakhirnya membawa dia ke salah satu gelandang Jerman bernama Mesut Ozil. Katanya, Mesut Ozil punya agama dan kepribadian yang kuat. Jadi, alih-alih karena tampan, ada hal lain bagi Nahla untuk dijadikan sebuah alasan.



Seperti remaja pada umumnya, Nahla melampiaskan kekaguman itu di media sosial—bahkan, dia sering menyebut kalau Ozil itu adalah pacarnya—sampe pada akhirnya, ada salah satu web resmi Madridistas (sebutan bagi penggemar Real Madrid, red) regional Jakarta yang mengekspos status Nahla ini, dan akhirnya……… DANG!!

21 Jul 2015

BAHASA SIALAN!

Orang bilang, laki-laki cuma butuh waktu 4 detik untuk jatuh cinta. Awalnya, gue gak setuju. Sampe sekitar tahun 2009, pandangan itu perlahan berubah.
Semua berawal ketika gue duduk di bangku SMP. Waktu itu, sifat gue nggak jauh beda dari sekarang; pendiem, tertutup, introvert, dan penyendiri. Makanya, tiap kali duduk, gue selalu milih deretan kursi paling ujung. Bener-bener ujung. Biar nggak ada temen lain yang ganggu konsentrasi belajar gue.
“Boleh duduk bareng nggak?” salah satu murid berbadan besar menawarkan diri. Seragamnya rapi, seolah-olah seragam sekolah memiliki tingkat keformalan paling tinggi di jagad raya. “Kok diem aja? Jawab dong.”
Gue geleng-geleng, karena ngerasa anak ini kurang asik diajak diskusi.
“Maap,” kata gue. “Udah ada yang ngisi.”
“Siapa?” tanya dia sambil celingukan kiri-kanan.
“Itu,” gue nunjuk asal ke salah satu murid yang lagi asik berdiri di ambang pintu. “Sama dia—yang berdiri di sana.”
Si gendut maju dua langkah ke belakang, wajahnya berubah merah. Dan, dengan satu kali hentakan kaki, dia ngelempar tas punggungnya ke meja sambil teriak, “Belagu lo, cupu!”
Gue dikatain cupu.
Tapi nggak marah.
Karena………...
yah,
gue emang cupu.
SO WHAT?!

1 Jul 2015

ELAH, UNTUNG DOSEN!

Dari seluruh Fakultas yang ada di Perguruan Tinggi Indonesia, gue percaya kalo Fakultas Ilmu Komunikasi adalah fakultas dengan matakuliah pa……….ling mudah. Oke, gue kasih penekanan. P  A  L  I  N  G    M  U  D  A  H.

Kalo gak percaya, kalian boleh tanya ke temen, tetangga, atau guru ngaji kalian yang kebetulan alumni FILKOM.

Contohnya, di FILKOM kalian bakal ketemu sama mata kuliah yang isinya cuma ngobrol sama temen kelas. Dan, lewat obrolan itu, kalian disuruh ngerumusin apa aja yang udah dibicarain. Bete banget, kan?

Misal: Farhan ketemu mantan, Farhan grogi, akhirnya Farhan memilih untuk diam dan lompat dari menara sutet. Apakah di sana terjadi tindak komunikasi? Jawabannya: tidak!
Udah, gitu doang!

Tapi, jangan mentang-mentang mata kuliah FILKOM gampang, kalian berpikir kalo pengajarnya juga segampang materinya. Gue tegasin ke kalian semua, dosen FILKOM itu gak beda jauh sama tukang kue rangi! Kalo kita lagi butuh, susah banget nyarinya. Dan lagi, mereka selalu pandai berkilah, jadi semua kesalahan mereka dengan mudah beralih ke diri kita.

Mahasiswa  : Pak, materi yang bapak jelasin sedikit beda sama minggu kemarin.
Dosen         : Sengaja.
Mahasiswa  : Kok sengaja?
Dosen         : Kamu anak komunikasi bukan?
Mahasiswa  : Iya. Terus hubungannya sama anak komunikasi apa?
Dosen         : Materi yang saya ajarin hari ini beda sama minggu kemarin, kan?
Mahasiswa  : Iya, terus?
Dosen         : Ya seharusnya kamu bisa bikin kesimpulan dari nada bicara saya.
Mahasiswa  : Nada bicara bapak?
Dosen         : Iya. Mana yang sekiranya nada bicara saya lebih meyakinkan. Hari ini atau Minggu kemarin?
Mahasiswa  : Ming-minggu kemarin, sih.
Dosen         : Nah, kan. Itu tandanya materi hari ini emang salah.
(Dalem hati  : LAH BUJUG. EMANG MENURUT LO TADI GUE BILANG APA, COK?!)
Mahasiswa  : Oh, oke, pak. Maap, saya salah.

25 Mei 2015

Jangan Pernah Melepas Kesederhanaanmu

Ketika wanita lain senang membaca katalog baju, kamu masih tetap membaca qur’an. Jangan pernah mengganti seleramu. Karena apa yang kamu baca, jauh lebih baik dari apa yang wanita lain baca.

Ketika wanita lain bingung menentukan salon mana yang akan mereka tuju, kamu masih percaya dengan make-up alamimu yang berasal dari air wudhu. Jangan pernah mengganti produk makeup-mu. Karena, air wudhu adalah make-up termurah yang pernah Allah ciptakan untukmu.

Ketika wanita lain berasumsi jika matahari dapat merusak warna rambut mereka, kamu tidak pernah memedulikannya. Karena kain jilbabmu tidak akan membiarkan cahaya matahari masuk menembus rambutmu. Berterimakasihlah padaNya. Berterimakasihlah pada Allah yang telah menyuruhmu untuk mengenakannya.

Ketika wanita lain menangis karena pacar sesaatnya, kamu masih tetap menyilangkan kedua kaki di atas sajadah, dan memohon kepadaNya untuk dipertemukan dengan lelaki yang kelak akan menuntunmu menuju jannah. Sekali lagi, jangan pernah berubah. Karena sampai detik ini, aku masih berharap, jika lelaki yang ada dalam do’amu sebenarnya adalah aku.

Lalu, ketika wanita lain senang bermain dengan teman sebayanya dan meninggalkan waktu shalat, kamu lebih memilih untuk bermain dengan anak-anak—mengajarkan pada mereka bagaimana cara membaca yang baik dan benar. Aku ulangi, jangan pernah berubah, tetaplah bermain dengan anak-anak. Karena dengan seperti itu, kepekaanmu dalam mengurus dan membimbing anak-anak akan jauh lebih terlatih dibanding wanita lain. Kelak, anakmu akan menjadi manusia paling beruntung di muka bumi.

-----

Jangan pernah melepas kesederhanaanmu. Karena hari ini, semua orang berusaha untuk menjadi luar biasa. Tapi kamu, tidak peduli dengan semua itu, dan lebih memilih untuk tetap sederhana.

Taukah kamu? Aku merasa bersyukur ketika Allah menciptakanmu dalam bentuk sederhana. Karena jika sempurna, kamu pasti tak akan butuh siapa-siapa. Termasuk aku.

27 Apr 2015

Jaga Dirimu Baik-baik, Nak!

Kata orang, hidup baru akan terasa ketika seorang anak sudah berpisah dengan orang tuanya. Namun ada juga yang beranggapan jika hidup baru akan terasa ketika seorang anak memutuskan untuk pergi jauh demi sebuah pekerjaan.
Mana yang kusetujui? Tentu saja keduanya.

Kisah ini aku renungkan dalam diri seorang gadis. Bagaimana mungkin seorang gadis bisa bertahan di kota seberang dalam keadaan sendiri? Pernahkah dia merasa sepi? Atau membayangkan saat-saat dimana dia sedang berkumpul di ruang keluarga dan berbagi canda tawa dengan ayah-ibunya? Pernahkah dia merasa? Atau…..., oh, dia merasakannya, tapi semangatnya seakan membuat rasa sepi terbenam ke dasar bumi paling dalam.

Kamu bisa saja menyerah pada keadaan, mengeluh pada Tuhan, lalu pulang ke rumah dengan alasan yang membuat orang tuamu yakin jika rumah adalah persinggahan terbaikmu. Tapi kamu tidak melakukannya, kamu lebih memilih untuk bertarung dengan lingkungan baru dan menjalani semua fase yang ada.

Sekali lagi kutanyakan padamu, Pernahkah kau merasa sepi? Atau berpikir jika rumahmu memang benar-benar persinggahan terbaikmu? Pernahkah?

Kamu tidak perlu menjawabnya, dentuman semangatmu seakan menjawab pertanyaanku.

Gadis muda, kumohon, berhentilah menatap remaja sekitarmu. Aku tau, mereka asik dengan dunianya, mereka tertawa dengan kehidupan ringannya, tapi itu hanya sementara, mereka semua akan menyesal pada detik dimana kamu tertawa dengan pencapaianmu. Kamu akan meledak, ledakanmu akan mengguncang remaja-remaja lainnya. Percayalah padaku.

Saat ini, jarak ragamu dan orang tuamu terlampau jauh, bahkan sekeras apapun kamu berteriak, mereka tidak akan mendengarnya. Kau pasti merindukannya—merindukan kebersamaannya, merindukan perhatiannya, dan yang paling utama adalah, kau merindukan makanan buatannya. Bukan begitu?

22 Mar 2015

Cantik Itu Sikap

Dulu, waktu masih anak-anak, aku selalu beranggapan kalo wanita dengan rambut panjang terurai itu menarik, apalagi kalo ikal-ikal rambutnya dibiarkan menggantung di sisi telinga—seperti Sakura di film Naruto atau Charlie ST12 versi wanita. Tapi, setelah beranjak dewasa, parameter wanita menarik di mataku mengalami pergeseran. Sekarang bukan soal rambut lagi, atau wajah, atau tubuh, atau alis, atau bagian lainnya yang berbentuk objek nyata. Tapi sekarang lebih pada kepribadian atau personality.

sumber
Pernah gak kalian pergi ke restauran mewah demi membeli makanan yang rasanya gak jauh beda sama makanan pinggir jalan? Kalo pernah, aku mau nanya, apa yang membuat harga makanan di restauran mewah lebih mahal dari makanan pinggir jalan?

Karena pajak?
Salah.

Karena komposisinya?
Salah.

Karena sewa tempat?
Hampir bener, tapi tetep salah.

Jawabannya adalah: Karena pelayanan di restauran mewah lebih menampilkan sisi formal dan mengutamakan penyajian yang menarik. Hal ini yang gak mungkin kita dapet dari abang-abang penjual makanan pinggir jalan. Meskipun rasanya sama—atau bahkan lebih enak di pinggir jalan—tapi tetep aja, cara penyajian restauran mewah lebih unggul dari penjual makanan pinggir jalan.

(Penyajian yang baik akan mendapatkan penghargaan dari pengunjung, berupa kewajaran atas harga yang ditawarkan).

Sama halnya dengan restauran tadi, wanita pun memiliki caranya masing-masing untuk menunjukan sisi menariknya.

Ambil contoh, kamu ditembak sama dua wanita dengan spesifikasi yang berbeda,

1.  Wanita sederhana dengan pengetahuan agama yang luas
2. Wanita super-duper cantik dengan harta berlimpah tapi susah diajak ibadah

Kamu bakal terima yang mana? Pasti pilihan kamu relatif, kan? Tapi aku berani taruhan, kalo lebih dari sebagian pemilih, pasti beranggapan kalo wanita nomor satu adalah wanita pemilik spesifikasi sempurna. Ya, kan? Ngaku deh.

Balik lagi ke bahasan awal, cantik atau tidaknya wanita, bukan tergantung pada objek yang terlihat, tapi lebih pada kepribadiannya.

15 Mar 2015

Bekasi Terpilih Sebagai Ibukota Negara

Sebulan yang lalu, aku cengengesan di atas kasur sambil megang hape. Gak lama kemudian, ibu dateng.

Ibu    : Kamu dapet SMS dari pacar, ya?
Aku   : Nggak, kok. Beneran.
Ibu    : Jangan bohong, ibu bisa liat dari wajahmu.
Aku   : Tap… uh, beneran. Kalau nggak percaya, cek aja sendiri.
Ibu    : Males.
Aku   : Hmm *menyilangkan kedua tangan*
Ibu    : Denger ya, Han. Kamu nggak boleh pacaran!
Aku   : ……….
Ibu    : Kalo berani pacaran, ibu bakal ambil hapemu. Titik, gak pake koma!
Aku   : Tap..
Ibu    : Ibu bilang, gak pake koma!

Aku nunduk, padahal kenyataannya aku lagi WhatsApp-an sama Ari, temen lamaku. Dan lagi, dia ini cowok tulen—saking cowoknya, dia pernah berangkat sholat Jum’at dengan pakaian: baju hitam bermotif tengkorak yang bertulisan ‘Anak funky nggak doyan kentucky’.
Gaul maksimal.

Sehari setelahnya—ketika aku lagi asik nyampul sebagian novelku, ibu datang mendekat.

Ibu    : *melotot ke arah novel*
Aku   : *celingukan*
Ibu    : *narik napas* Itu kamu yang nyampul, Han?
Aku   : *ngangguk dua kali*
Ibu    : Jawab pake mulut, jangan pake kepala.
Aku   : Iya, Bu. Iya. Ini aku yang nyampul.
Ibu    : Hmm. *tatapannya semakin tajam*
Aku   : Kenapa?
Ibu    : Jelek banget, sih.
Aku   : Maklum, Bu. Namanya juga cowok.
Ibu    : Nah, itu! Makanya, kamu cari pacar dong. Biar..
Aku   : Biar apa, Bu?
Ibu    : Biar ada yang bantuin kamu nyampul buku!
Aku   : Cuma itu aja?
Ibu    : Iya!
Aku   : Tapikan, waktu itu ibu bilang, kalau aku gak boleh pac…..
Ibu    : Sst! *pergi ke dapur dalam jeda waktu satu mili-detik* *Menghilang*

7 Mar 2015

Perbaiki Saja Aku

“Izinkan aku menjadi yang terbaik untukmu. Jika aku belum benar, jangan pergi. Perbaiki saja aku.”


Banyak yang beranggapan jika menunggu adalah kegiatan tanpa bayaran paling membosankan. Aku setuju, pada penekanan ‘tanpa bayaran’, tapi aku menolak, jika semua hal barusan dikatakan paling membosankan. Karena menurutku, menunggu adalah kegiatan sukarela yang sangat mendebarkan..

… jika hal itu kulakukan untukmu.

Beberapa tahun yang lalu, aku bertemu seorang gadis yang memiliki mimpi besar. Seorang gadis yang ketika kau menatapnya, kau akan merasakan ketegangan penuh tanda tanya. Gadis itu sangat manis, jauh lebih manis dari buah ara di Timur-Tengah. Dan ketika menyunggingkan sebuah senyuman, ia tampak bagaikan seorang bayi yang baru pertama kali menatap awan melalui celah pada jendela rumah. Bahkan, ketika sedang menangis, kecantikan gadis itu tak berkurang sedikitpun; ia masih cantik, seperti seharusnya.

Dan saat ini—ketika aku menyadari semua hal yang kusebutkan tadi—aku mulai bertanya pada semesta alam, apakah gadis sepertimu diciptakan hanya untuk membuatku kagum? Karena sampai detik ini, aku hanya bisa mengagumimu melalui perangkat virtual, dan mencoba memberikan perhatian tertutup dengan cara merahasiakan sebuah nama yang tertulis pada profilku.

Dalam hal ini, kau boleh menyebut diriku sebagai pria yang lemah, tapi untuk hal lain? Sepertinya kau harus membaca kisahku hingga usai.

Suatu malam, di persimpangan jalan Bekasi, kita bertatap wajah untuk pertama kalinya. Cahaya lampu di tepi jalan memantulkan efek cahaya pada wajahmu. Membiaskan nuansa jingga pada kening dan pipimu. Meredup dan menyala dalam hitungan detik, seakan menampilkan sebuah getaran hebat yang tercipta karena pertemuan rahasia ini.

Aku memberanikan diri untuk mendekatimu, dan berkata, “Hai.”

13 Feb 2015

Untuk Kecantikan Abadiku

Ibuku pernah bilang, “Kalo kamu jatuh cinta, tulis sebuah surat. Kalo kamu memendam cinta, simpan sebuah surat.

Awalnya aku kurang paham dengan ucapan ibu. Kata ‘simpan’ di sini memiliki arti yang ganda; pertama, simpan bisa berarti disembunyikan; kedua, simpan bisa berarti kemunculan-yang-sedikit-ditunda.

Sampai pada akhirnya ibu melanjutkan, “Simpan, demi kebaikanmu kelak.

Simpan, demi kebaikanmu kelak. Yeah! Itu tandanya ‘simpan’ memiliki arti yang cukup baik. Eufemisme dari kata harapan. Maksudku, suatu saat nanti, surat ini akan dibuka dan dibaca oleh seseorang yang namanya tercantum dalam kalimat yang kita rangkai tersebut. Jadi aku menatap wajah ibu, lalu berkata dengan suara parau, “Bu, aku mau nulis surat untuk calon istriku.”

Ibu menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Silahkan,” katanya. “Jangan membuat calon istrimu menunggu.”

Aku mengangguk—berpaling dari wajah ibu, kemudian mengambil sebuah pena, dan selembar kertas putih bergaris. Lalu, pada detik itu juga, aku mulai menulis sebuah surat.


1 Jan 2015

Jadilah Superhero Untuk Dirimu Sendiri

        “Gue baru tau, kalo ternyata di Amsterdam itu suhunya dingin banget, ya? Apalagi di pusat kotanya, astagaaaaaa, bikin merinding!” kata mahasiswi modis yang selalu heboh sama apa aja yang berhubungan dengan Eropa, Amerika dan hal-hal lain yang baginya luar biasa.

        “Masa, sih? Tadinya gue pikir Bandung itu kota paling dingin, eh, ternyata nggak. Padahal gue aja kudu pake jaket jeans lapis tiga kalo kesana, khususnya di Lembang, tuh,” respon wanita sederhana bernama Nara, sahabat mahasiswi modis barusan, sembari membuka halaman per-halaman novel And Then There Were None karya Agatha Christie yang sedari tadi dipegangnya.

        “Alaaaaaa, itu sih karena elo-nya aja kampungan. Tidur di kamar ber-AC aja, langsung flu. Makanya, biasain hidup di tempat-tempat dingin. Besok bilang ke nyokap-bokap lo, kalo di luar sana, ada Negara yang namanya Islandia! Disana dingin banget. Percaya, deh!” Sembur mahasiswi modis yang makin lama, makin ngeselin, “Eh, tapi…..”

        “Tapi kenapa?”

        “Tapi gue takut aja. Takut kalo mati kaku disana. Beneran. Coba aja lo pikir, pergi ke Bandung aja, elo kudu pake jaket jeans berlapis-lapis, apalagi ke Islandia? Bisa-bisa elo berpakaian ala tentara Eropa Barat abad pertengahan. Serba besi!”

        “Astagaaaa, lagian bokap ama nyokap gue nggak bakal ngizinin kok. Apalagi ongkos ke Islandia kan mahal. Nggak cukup barang seribu ato dua ribu perak!” timpalnya ketus, “PUAS LO?!”

        “Duile kasihan amat sih lo. Dasar, perempuan miskin penuh kebanggaan!” Mahasiswi sengak itu ngedorong pundak Nara, sampai novel yang sedari tadi dipegangnya terlempar jatuh, “Eh, buku apa, tuh? Resep makanan ya?”