13 Okt 2018

Laki-laki dan Bahunya yang Renta


Laki-laki adalah makhluk terlemah, tapi selalu yang pertama menawarkan perlindungan. Selalu merasa paling sanggup, padahal langkahnya sempoyongan, dan mudah terserang bingung.

Memang betul laki-laki punya kadar ketenangan lebih tinggi dari perempuan. Tapi laki-laki tak dibekali kemampuan mengendalikan. Banyak keputusan laki-laki yang serampangan dan berujung penyesalan. Itulah mengapa laki-laki butuh penyeimbang, butuh rangkulan—seseorang yang mau mengarahkan dengan sabar. Dan tak ada seorang pun yang bisa melakukannya, kecuali seorang perempuan.

Laki-laki yang menawarkan ‘sandaran’ kepada perempuan, sementara dirinya belum sanggup berdiri tegap, adalah laki-laki yang belum memahami dirinya dengan utuh. Belajar merangkak dulu, baru berjalan. Kalau sudah betul-betul bisa jalan, pastikan langkahnya tidak gontai, tidak goyang, pahami rute jalan yang akan dilintasi, setelahnya, ketika benar-benar sudah mampu, baru tawarkan kesanggupanmu melindungi seorang perempuan.

‘Melindungi’ bukan kegiatan murahan, ia adalah komitmen paling mahal yang bisa laki-laki tawarkan.

Cinta usia dewasa sepenuhnya adalah tentang tanggung jawab. Kemampuan memahami dan mengukur diri sendiri adalah hal yang perlu. Tidak lagi penting siapa yang lebih dulu ungkapkan perasaan, apalagi kesungguhan hanya diukur berdasarkan intensitas pertemuan. “Siapa yang lebih sering mengajak jalan, dia yang lebih sayang.” Aduh, bukan seperti itu.

7 Apr 2018

Benarkah Bicara Politik Membuat Kita Terlihat Menarik?

Belakangan ini hidup serba diukur menggunakan politik. Mau berteman, harus dengan yang sama. Beda jagoan politik, kita dimusuhi. Mau diam tak peduli, dituduh tidak punya pendirian. Hidup jadi serba bersebrangan.

Pilkada Jakarta hajat paling gila. Pernah suatu hari saya makan bersama teman-teman di kedai bakso pinggir jalan. Obrolan kita penuh canda, sebelum akhirnya mereka bicara politik. Saya tak acuh, mereka penasaran. “Bagaimana tanggapannya, Han?” Saya memberi tanggapan malah dituduh yang bukan-bukan. Hari berikutnya, di tengah suasana yang sama, saya tetap tak acuh. Kali ini dengan penekanan: apapun yang mereka tanyakan, saya tetap diam. Langkah ini juga keliru, saya dituduh apatis. Manusia tanpa pendirian.

Lalu, saya harus apa?
Menancapkan garpu ke mata saya?!?!

Reaksi di media sosial juga sama—semua serba saling menyudutkan. Pendukung A merasa pilihannya yang terbaik, siapapun yang tidak sama dengannya adalah sampah. Pendukung B tidak terima, mereka balas hujatan dengan hujatan lain. Ibarat perkelahian: saling bergantian menyerang hanya akan melukai keduanya.

18 Jan 2018

Mikrofon Pelunas Hutang

Agaknya semua saluran televisi memiliki pakem yang sama dalam membuat suatu program: apakah ini menjual?

Di negara kita—yang masyarakatnya selalu ingin tahu urusan orang lain—program yang menampilkan sisi emosi dengan urai air mata tentu akan sangat menjual. Ihwal rahasia seperti kemiskinan, perceraian, dan kehilangan, saat ini tak lagi disimpan dalam pembicaraan rumah, melainkan menjadi konsumsi publik yang siapapun bisa menyaksikannya.
Yang terbaru: Mikrofon Pelunas Hutang.

Mengambil konsep ‘bantuan sosial’, program yang tayang setiap sore ini sebenarnya memiliki misi yang baik: melunasi hutang peserta. Meskipun saya tak mengerti, nominal hutang para peserta bersumber dari mana.

Yang saya mengerti: semakin banyak hutang peserta semakin banyak mikrofon yang dihadapi. Hal ini tentu menambah sulit peserta menentukan mikrofon sebelah mana yang hasilkan bunyi.
Apabila salah pilih, hutangnya gagal terlunasi.

Di balik nilai sosial yang sesungguhnya amat baik, pelbagai program yang membawa konsep sejenis Mikrofon Pelunas Hutang memiliki satu cedera yang mengkhawatirkan: tangis yang dianggap sebatas obyek—ia terpisah dari duka dan manusia itu sendiri, sehingga dampaknya juga tak kalah mengkhawatirkan: komoditas. Tangisan dalam program tersebut adalah peluang menghimpun banyak rupiah.