26 Jan 2017

Pasangan yang Gemar Membaca



Rasanya aku ingin sekali berlibur ke Amsterdam: jalan-jalan santai di tepian kanal, berkunjung ke Rijksmuseum, atau sekedar menghabiskan sore di Vondelpark.
Tapi Belgia juga indah. Mereka punya Brussel. Aku bisa ngopi-ngopi cantik di Place St. Gerry. Sepulangnya, aku bersepeda melintasi Rue Neuve. Setiap akhir pekan mereka menjual barang-barang murah!
Lalu, bagaimana dengan Amerika Serikat? Meski kebanyakan pengunjung memilih kota-kota ramai sebagai tujuan berwisata, aku justru menyukai kota tenang seperti North Carolina. Manusia macam apa yang tidak mengagumi desa secantik Southport! Kano yang berbaris di tepian danau  itu benar-benar mengagumkan!
Selanjutnya aku akan pergi ke—hei, tunggu dulu! Bagaimana aku bisa berkunjung ke tempat-tempat indah, sementara bekerja saja belum?!

“Solusinya sederhana, kok: baca saja buku.
…. Kamu bisa menjelajah dunia dengan biaya tak seberapa!”

***

Sebenarnya tulisan ini didasari dari sebuah percakapan kecil. Waktu itu Sabtu sore. Aku duduk di meja kayu berdua bersama seorang teman. Dia memesan teh hangat, sebab cuaca memang sedang dingin-dinginnya. Aku berusaha menghormati pilihannya dengan memesan minuman yang sama. Padahal, kalau boleh jujur, aku lebih menyukai kopi hitam!

Baiklah, lupakan tentang minuman. Jadi, di tengah-tengah obrolan tentang perpolitikan negara kita yang sedang carut-marut, temanku tiba-tiba berkata, “Farhan, saya yakin kalau masalah yang sedang kita hadapi ini sebenernya tentang kesalahpahaman. Atau mungkin, tentang keyakinan yang terus-terusan didesak oleh pemahaman golongan?” mendengar itu, aku mengangguk yakin. Masyarakat kita memang belum bisa berpikir mandiri. Suara-suara sumbang, yang bersumber dari satu golongan, selalu dipercaya sebagai suara kebenaran. Apapun itu, entah baik atau buruk, terima saja. Konsekuensi soal nanti, yang utama adalah kolektivitas. Begitu pikir mereka.

Tak lama setelahnya temanku kembali melanjutkan, “Mungkin karena mereka kurang membaca buku?”

“Bisa jadi.” Jawabku singkat.

15 Jan 2017

#MembahasRasa: Seberapa Menjengkelkan Pasanganmu Di Usia Tua?

Aku dan kereta sudah akrab sejak tiga tahun lalu. Setiap pagi, ketika mobil berdesakkan di sepanjang jalan ibukota, aku dan penumpang lain justru berdesakkan di dalam kereta. Tapi sungguh, tak pernah aku mencelanya. Karena Jakarta memang harus dihadapi dengan kemampuan menerima, meski luar biasa susahnya.

Sore itu adalah hari terakhirku di semester lima. Aku pulang membawa perasaan lega karena lelahku akibat begadang dapat terobati oleh libur panjang. Jadi aku bergegas menuju stasiun, mengisi saldo kartu, dan menunggu kereta di peron jalur dua.

Kurang dari lima menit setelah menunggu, kereta datang membawa banyak sekali penumpang.

Aku melangkah masuk dan berdiri di samping wanita paruh baya. Di sebelahnya, lelaki tua berbadan ceking berdiri setengah membungkuk. Menurut perkiraanku, mereka berdua adalah sepasang suami-istri.

Hal menarik terjadi ketika kereta terguncang akibat berhenti mendadak. Seluruh penumpang saling berdorongan. Bahkan ada yang tak sengaja bertumpu pada orang tak dikenal. Namun mereka sudah terbiasa dengan suasana seperti ini, dan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar.

Namun beda lagi dengan wanita paruh baya di sebelahku.
Ia tampak geram dan tidak sepenuhnya menerima.

“Heh!” bentaknya tiba-tiba. “Jangan dorong-dorongan dong! Pungung saya sakit!”

Seluruh penumpang yang mendengarnya saling bertatapan. Sebagian dari mereka menggelengkan kepala, sebagian lainnya saling berbisikan.