22 Mar 2015

Cantik Itu Sikap

Dulu, waktu masih anak-anak, aku selalu beranggapan kalo wanita dengan rambut panjang terurai itu menarik, apalagi kalo ikal-ikal rambutnya dibiarkan menggantung di sisi telinga—seperti Sakura di film Naruto atau Charlie ST12 versi wanita. Tapi, setelah beranjak dewasa, parameter wanita menarik di mataku mengalami pergeseran. Sekarang bukan soal rambut lagi, atau wajah, atau tubuh, atau alis, atau bagian lainnya yang berbentuk objek nyata. Tapi sekarang lebih pada kepribadian atau personality.

sumber
Pernah gak kalian pergi ke restauran mewah demi membeli makanan yang rasanya gak jauh beda sama makanan pinggir jalan? Kalo pernah, aku mau nanya, apa yang membuat harga makanan di restauran mewah lebih mahal dari makanan pinggir jalan?

Karena pajak?
Salah.

Karena komposisinya?
Salah.

Karena sewa tempat?
Hampir bener, tapi tetep salah.

Jawabannya adalah: Karena pelayanan di restauran mewah lebih menampilkan sisi formal dan mengutamakan penyajian yang menarik. Hal ini yang gak mungkin kita dapet dari abang-abang penjual makanan pinggir jalan. Meskipun rasanya sama—atau bahkan lebih enak di pinggir jalan—tapi tetep aja, cara penyajian restauran mewah lebih unggul dari penjual makanan pinggir jalan.

(Penyajian yang baik akan mendapatkan penghargaan dari pengunjung, berupa kewajaran atas harga yang ditawarkan).

Sama halnya dengan restauran tadi, wanita pun memiliki caranya masing-masing untuk menunjukan sisi menariknya.

Ambil contoh, kamu ditembak sama dua wanita dengan spesifikasi yang berbeda,

1.  Wanita sederhana dengan pengetahuan agama yang luas
2. Wanita super-duper cantik dengan harta berlimpah tapi susah diajak ibadah

Kamu bakal terima yang mana? Pasti pilihan kamu relatif, kan? Tapi aku berani taruhan, kalo lebih dari sebagian pemilih, pasti beranggapan kalo wanita nomor satu adalah wanita pemilik spesifikasi sempurna. Ya, kan? Ngaku deh.

Balik lagi ke bahasan awal, cantik atau tidaknya wanita, bukan tergantung pada objek yang terlihat, tapi lebih pada kepribadiannya.

15 Mar 2015

Bekasi Terpilih Sebagai Ibukota Negara

Sebulan yang lalu, aku cengengesan di atas kasur sambil megang hape. Gak lama kemudian, ibu dateng.

Ibu    : Kamu dapet SMS dari pacar, ya?
Aku   : Nggak, kok. Beneran.
Ibu    : Jangan bohong, ibu bisa liat dari wajahmu.
Aku   : Tap… uh, beneran. Kalau nggak percaya, cek aja sendiri.
Ibu    : Males.
Aku   : Hmm *menyilangkan kedua tangan*
Ibu    : Denger ya, Han. Kamu nggak boleh pacaran!
Aku   : ……….
Ibu    : Kalo berani pacaran, ibu bakal ambil hapemu. Titik, gak pake koma!
Aku   : Tap..
Ibu    : Ibu bilang, gak pake koma!

Aku nunduk, padahal kenyataannya aku lagi WhatsApp-an sama Ari, temen lamaku. Dan lagi, dia ini cowok tulen—saking cowoknya, dia pernah berangkat sholat Jum’at dengan pakaian: baju hitam bermotif tengkorak yang bertulisan ‘Anak funky nggak doyan kentucky’.
Gaul maksimal.

Sehari setelahnya—ketika aku lagi asik nyampul sebagian novelku, ibu datang mendekat.

Ibu    : *melotot ke arah novel*
Aku   : *celingukan*
Ibu    : *narik napas* Itu kamu yang nyampul, Han?
Aku   : *ngangguk dua kali*
Ibu    : Jawab pake mulut, jangan pake kepala.
Aku   : Iya, Bu. Iya. Ini aku yang nyampul.
Ibu    : Hmm. *tatapannya semakin tajam*
Aku   : Kenapa?
Ibu    : Jelek banget, sih.
Aku   : Maklum, Bu. Namanya juga cowok.
Ibu    : Nah, itu! Makanya, kamu cari pacar dong. Biar..
Aku   : Biar apa, Bu?
Ibu    : Biar ada yang bantuin kamu nyampul buku!
Aku   : Cuma itu aja?
Ibu    : Iya!
Aku   : Tapikan, waktu itu ibu bilang, kalau aku gak boleh pac…..
Ibu    : Sst! *pergi ke dapur dalam jeda waktu satu mili-detik* *Menghilang*

7 Mar 2015

Perbaiki Saja Aku

“Izinkan aku menjadi yang terbaik untukmu. Jika aku belum benar, jangan pergi. Perbaiki saja aku.”


Banyak yang beranggapan jika menunggu adalah kegiatan tanpa bayaran paling membosankan. Aku setuju, pada penekanan ‘tanpa bayaran’, tapi aku menolak, jika semua hal barusan dikatakan paling membosankan. Karena menurutku, menunggu adalah kegiatan sukarela yang sangat mendebarkan..

… jika hal itu kulakukan untukmu.

Beberapa tahun yang lalu, aku bertemu seorang gadis yang memiliki mimpi besar. Seorang gadis yang ketika kau menatapnya, kau akan merasakan ketegangan penuh tanda tanya. Gadis itu sangat manis, jauh lebih manis dari buah ara di Timur-Tengah. Dan ketika menyunggingkan sebuah senyuman, ia tampak bagaikan seorang bayi yang baru pertama kali menatap awan melalui celah pada jendela rumah. Bahkan, ketika sedang menangis, kecantikan gadis itu tak berkurang sedikitpun; ia masih cantik, seperti seharusnya.

Dan saat ini—ketika aku menyadari semua hal yang kusebutkan tadi—aku mulai bertanya pada semesta alam, apakah gadis sepertimu diciptakan hanya untuk membuatku kagum? Karena sampai detik ini, aku hanya bisa mengagumimu melalui perangkat virtual, dan mencoba memberikan perhatian tertutup dengan cara merahasiakan sebuah nama yang tertulis pada profilku.

Dalam hal ini, kau boleh menyebut diriku sebagai pria yang lemah, tapi untuk hal lain? Sepertinya kau harus membaca kisahku hingga usai.

Suatu malam, di persimpangan jalan Bekasi, kita bertatap wajah untuk pertama kalinya. Cahaya lampu di tepi jalan memantulkan efek cahaya pada wajahmu. Membiaskan nuansa jingga pada kening dan pipimu. Meredup dan menyala dalam hitungan detik, seakan menampilkan sebuah getaran hebat yang tercipta karena pertemuan rahasia ini.

Aku memberanikan diri untuk mendekatimu, dan berkata, “Hai.”