7 Mar 2015

Perbaiki Saja Aku

“Izinkan aku menjadi yang terbaik untukmu. Jika aku belum benar, jangan pergi. Perbaiki saja aku.”


Banyak yang beranggapan jika menunggu adalah kegiatan tanpa bayaran paling membosankan. Aku setuju, pada penekanan ‘tanpa bayaran’, tapi aku menolak, jika semua hal barusan dikatakan paling membosankan. Karena menurutku, menunggu adalah kegiatan sukarela yang sangat mendebarkan..

… jika hal itu kulakukan untukmu.

Beberapa tahun yang lalu, aku bertemu seorang gadis yang memiliki mimpi besar. Seorang gadis yang ketika kau menatapnya, kau akan merasakan ketegangan penuh tanda tanya. Gadis itu sangat manis, jauh lebih manis dari buah ara di Timur-Tengah. Dan ketika menyunggingkan sebuah senyuman, ia tampak bagaikan seorang bayi yang baru pertama kali menatap awan melalui celah pada jendela rumah. Bahkan, ketika sedang menangis, kecantikan gadis itu tak berkurang sedikitpun; ia masih cantik, seperti seharusnya.

Dan saat ini—ketika aku menyadari semua hal yang kusebutkan tadi—aku mulai bertanya pada semesta alam, apakah gadis sepertimu diciptakan hanya untuk membuatku kagum? Karena sampai detik ini, aku hanya bisa mengagumimu melalui perangkat virtual, dan mencoba memberikan perhatian tertutup dengan cara merahasiakan sebuah nama yang tertulis pada profilku.

Dalam hal ini, kau boleh menyebut diriku sebagai pria yang lemah, tapi untuk hal lain? Sepertinya kau harus membaca kisahku hingga usai.

Suatu malam, di persimpangan jalan Bekasi, kita bertatap wajah untuk pertama kalinya. Cahaya lampu di tepi jalan memantulkan efek cahaya pada wajahmu. Membiaskan nuansa jingga pada kening dan pipimu. Meredup dan menyala dalam hitungan detik, seakan menampilkan sebuah getaran hebat yang tercipta karena pertemuan rahasia ini.

Aku memberanikan diri untuk mendekatimu, dan berkata, “Hai.”


Tak ada jawaban darimu, hanya senyum legendaris yang kau sumbangkan gratis padaku.

Di pertemuan kedua, kita kembali bertatap muka dalam keadaan rahasia; orang tua kita tidak tau tentang hal ini, tapi kau tetap memberiku senyum yang sangat manis—jenis senyuman terbaik yang pernah dilakukan oleh gadis seusiamu—sehingga pertemuan ini menjadi lebih terbuka—walaupun kita berdua hanya berdiri di persimpangan jalan dengan satu sumber cahaya yang menerangi sebagian tubuh kita.

Kau menyibak ikal-ikal rambut yang keluar dari balik jilbabmu, kemudian menautkan ikal-ikal itu pada celah telingamu. Lalu dengan tatapan ragu, kau mengamati pergelangan tanganmu yang indah dan berkata dengan nada lembut, “Sudah mulai malam, sebaiknya kau pulang.” Aku mengangguk karena setuju. Meskipun aku tau, jika sebenarnya hari itu belum terlalu larut untuk kebanyakan gadis pada umumnya.

Cerita tadi adalah pertemuan terakhir kita, sudah lebih dari dua tahun kita tak saling menyapa, apalagi sampai bertatap muka. Tapi lihatlah, keajaiban seakan memainkan perannya, di usiaku yang ke-19, kau kembali datang, menyapaku dengan senyum legendaris itu.

Selepas kita berpisah, aku mendapati wajahmu yang semakin manis, pipimu yang semakin merah, dan jilbabmu yang masih sama seperti dulu; tetap sederhana, tanpa adanya hiasan di sisi kainnya.

“Kamu semakin cantik, ya,” kataku, dengan nada setengah meledek.

Kamu menangkupkan tangan di depan mulutmu; mencoba untuk menahan senyum, lalu berkata dengan suara yang hampir tak bisa kudengar, Hadza min fadhli rabbi, semua ini karunia dari Tuhanku.
Subhanallah.


Aku berterimakasih atas pertemuan ini, Gadis Manis. Dan maafkan atas perpisahan dua tahun yang lalu. Karena kau harus tau, aku yang sekarang, masih sama seperti aku ketika SMA dulu; selalu memujamu sebagai ukiran terbaik sang pencipta.

Untukmu, Gadis manis yang kusayangi, katakan saja semua harapanmu—khayalmu dua tahun yang lalu. Jika kau ingin memulainya dari awal, mari kita bangun cinta yang baru.

Namun, jika aku masih belum benar, jangan dulu kau pergi. Perbaiki saja aku.

4 komentar:

  1. beuh, "perbaiki saja aku dan bersabarlah untukku"..
    great men, bukan cuman bilang "terima aku apa adanya"

    BalasHapus
  2. Duh, memang kalau 'yang pertama' itu selalu diingat :"

    BalasHapus
  3. ampuun deh so sweet sekaliiii :")

    BalasHapus

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini