Agaknya semua saluran
televisi memiliki pakem yang sama dalam membuat suatu program: apakah ini
menjual?
Di negara kita—yang
masyarakatnya selalu ingin tahu urusan orang lain—program yang menampilkan sisi
emosi dengan urai air mata tentu akan sangat menjual. Ihwal rahasia seperti
kemiskinan, perceraian, dan kehilangan, saat ini tak lagi disimpan dalam
pembicaraan rumah, melainkan menjadi konsumsi publik yang siapapun bisa
menyaksikannya.
Yang terbaru: Mikrofon
Pelunas Hutang.
Mengambil konsep ‘bantuan
sosial’, program yang tayang setiap sore ini sebenarnya memiliki misi yang
baik: melunasi hutang peserta. Meskipun saya tak mengerti, nominal hutang para peserta
bersumber dari mana.
Yang saya mengerti: semakin
banyak hutang peserta semakin banyak mikrofon yang dihadapi. Hal ini tentu menambah
sulit peserta menentukan mikrofon sebelah mana yang hasilkan bunyi.
Apabila salah pilih,
hutangnya gagal terlunasi.
Di balik nilai sosial
yang sesungguhnya amat baik, pelbagai program yang membawa konsep sejenis
Mikrofon Pelunas Hutang memiliki satu cedera yang mengkhawatirkan: tangis yang
dianggap sebatas obyek—ia terpisah dari duka dan manusia itu sendiri, sehingga
dampaknya juga tak kalah mengkhawatirkan: komoditas. Tangisan dalam program
tersebut adalah peluang menghimpun banyak rupiah.