Agaknya semua saluran
televisi memiliki pakem yang sama dalam membuat suatu program: apakah ini
menjual?
Di negara kita—yang
masyarakatnya selalu ingin tahu urusan orang lain—program yang menampilkan sisi
emosi dengan urai air mata tentu akan sangat menjual. Ihwal rahasia seperti
kemiskinan, perceraian, dan kehilangan, saat ini tak lagi disimpan dalam
pembicaraan rumah, melainkan menjadi konsumsi publik yang siapapun bisa
menyaksikannya.
Yang terbaru: Mikrofon
Pelunas Hutang.
Mengambil konsep ‘bantuan
sosial’, program yang tayang setiap sore ini sebenarnya memiliki misi yang
baik: melunasi hutang peserta. Meskipun saya tak mengerti, nominal hutang para peserta
bersumber dari mana.
Yang saya mengerti: semakin
banyak hutang peserta semakin banyak mikrofon yang dihadapi. Hal ini tentu menambah
sulit peserta menentukan mikrofon sebelah mana yang hasilkan bunyi.
Apabila salah pilih,
hutangnya gagal terlunasi.
Di balik nilai sosial
yang sesungguhnya amat baik, pelbagai program yang membawa konsep sejenis
Mikrofon Pelunas Hutang memiliki satu cedera yang mengkhawatirkan: tangis yang
dianggap sebatas obyek—ia terpisah dari duka dan manusia itu sendiri, sehingga
dampaknya juga tak kalah mengkhawatirkan: komoditas. Tangisan dalam program
tersebut adalah peluang menghimpun banyak rupiah.
Dalam salah satu segmen,
sebelum melakukan pemilihan mikrofon, pemandu acara memersilakan peserta untuk
berbagi kisah pilunya. Biasanya peserta hanya akan memberi keterangan yang
singkat, lugas, bahwa ia benar punya tanggungan hutang. Penonton tak akan
tertegun mendengarnya, karena hutang bukan hal baru yang mengagetkan. Karena
bisa jadi, penonton yang menyaksikan program tersebut juga dalam keadaan berhutang.
Dan di sinilah
pentingnya peran pemandu acara.
Ia menuntun peserta
untuk membuka kisah yang luput dari ingatan—kisah yang sebenarnya tidak begitu
menusuk, karena samar—namun dibuat sedemikian lekat dalam diri seorang peserta.
Biasanya, pemandu acara menyulap suaranya menjadi lebih gemetar, rangkulnya menguat,
dan diakhiri dengan kalimat motivasi, yang memberi makna kesabaran. Ia—pemandu
acara—mengerti: nilai jual program seperti ini terletak pada tangisnya. Ketika
ia mampu menghadirkan kisah sedih, dan tangis penonton mengepung panggung, maka
di situlah ia dinilai berhasil.
Dalam kasus ini,
sebagian dari kisah sedih adalah aib.
Beberapa dasawarsa lalu,
jauh sebelum ‘bisnis air mata’ masuk ke dalam lingkup media, seorang pria asal
Tiongkok sudah lebih dulu menyadari bahwa tangis ialah ladang uang. Ia, yang
diceritakan sastrawan Liao Yiwu, adalah pemuda miskin bernama Li Changgeng yang
tinggal di wilayah Jiangyou, provinsi Sichuan, Tiongkok.
Ketika umurnya belum
lagi 13 tahun, Li mulai tekuni profesi yang, dirasa, tidak umum. Ia
menyebutnya: Sang Juru Tangis.
Cara kerja Li adalah menghadiri
upacara pemakaman, menumpahkan air mata, dan menerima upah. Mereka yang memakai
jasa Li percaya, bahwa duka dalam upacara berkabung tak akan berlangsung lama.
Tangis hanya meledak di awal—sewaktu keluarga melihat jasad si mendiang.
Selebihnya adalah upaya menahan diri, dan duka lenyap begitu saja.
Li mengaku, intensitas
tangisnya tergantung upah yang ia dapat. Kalau bayarannya bagus, ia akan
membuat banyak improvasi demi menyenangkan hati tuan rumah. Tangisnya adalah
persuasi hebat. Siapa saja yang melihatnya menangis akan menyertakan diri untuk
ikut menangis. Upah juga menentukan durasi duka. Tuan rumah yang membayar mahal
akan mendengar tangis Li lebih lama—lebih haru. Upacara pemakaman yang mestinya
membawa kesedihan sementara, kini adalah duka yang lebih panjang.
Li adalah versi lama
dari komodifikasi yang dibawa Mikrofon Pelunas Hutang. Dengan sedikit
perbedaan: Li menghimpun uang secara terang-terangan. Li menyatakan diri
sebagai Juru Tangis, itulah keahliannya. Tanpa tangis ia tak bisa membiayai
hidupnya.
Sedikit lebih samar,
Mikrofon Pelunas Hutang memainkan drama tangis begitu halus. Rasa penasaran
kita terhadap nasib orang lain, ditambah pesona kesedihan yang sebatas dalih
mendongkrak rating, membuatnya berhasil diminati banyak penonton. Suatu
keberhasilan yang berimplikasi pada iklan komersial yang berjejal masuk di
antara jeda program. Tidakkah benar bahwa kesedihan adalah ladang uang?
Dalam suatu wawancara,
Li mengatakan bahwa lama-kelamaan dirinya tak lagi punya perasaan. Ia beku
menghadapi duka. Tangisnya bukan lagi bagian dari perasaan, melainkan tuntutan
yang dikomersialkan. Ketika mengetahuinya, saya bertanya-tanya: apakah itu juga yang dirasakan sang pemandu
acara Mikrofon Pelunas Hutang? Merasakan bahwa ia tak lagi memiliki perasaan?
Yang jelas, selama
tangis masih dipertontonkan, dan kesulitan hidup bukan lagi hal yang perlu
disembunyikan, air mata tetap jadi air yang paling menguntungkan.
Tajam!
BalasHapusBagus sekali artikelnya.
BalasHapus