18 Jan 2018

Mikrofon Pelunas Hutang

Agaknya semua saluran televisi memiliki pakem yang sama dalam membuat suatu program: apakah ini menjual?

Di negara kita—yang masyarakatnya selalu ingin tahu urusan orang lain—program yang menampilkan sisi emosi dengan urai air mata tentu akan sangat menjual. Ihwal rahasia seperti kemiskinan, perceraian, dan kehilangan, saat ini tak lagi disimpan dalam pembicaraan rumah, melainkan menjadi konsumsi publik yang siapapun bisa menyaksikannya.
Yang terbaru: Mikrofon Pelunas Hutang.

Mengambil konsep ‘bantuan sosial’, program yang tayang setiap sore ini sebenarnya memiliki misi yang baik: melunasi hutang peserta. Meskipun saya tak mengerti, nominal hutang para peserta bersumber dari mana.

Yang saya mengerti: semakin banyak hutang peserta semakin banyak mikrofon yang dihadapi. Hal ini tentu menambah sulit peserta menentukan mikrofon sebelah mana yang hasilkan bunyi.
Apabila salah pilih, hutangnya gagal terlunasi.

Di balik nilai sosial yang sesungguhnya amat baik, pelbagai program yang membawa konsep sejenis Mikrofon Pelunas Hutang memiliki satu cedera yang mengkhawatirkan: tangis yang dianggap sebatas obyek—ia terpisah dari duka dan manusia itu sendiri, sehingga dampaknya juga tak kalah mengkhawatirkan: komoditas. Tangisan dalam program tersebut adalah peluang menghimpun banyak rupiah.
Dalam salah satu segmen, sebelum melakukan pemilihan mikrofon, pemandu acara memersilakan peserta untuk berbagi kisah pilunya. Biasanya peserta hanya akan memberi keterangan yang singkat, lugas, bahwa ia benar punya tanggungan hutang. Penonton tak akan tertegun mendengarnya, karena hutang bukan hal baru yang mengagetkan. Karena bisa jadi, penonton yang menyaksikan program tersebut juga dalam keadaan berhutang.

Dan di sinilah pentingnya peran pemandu acara.

Ia menuntun peserta untuk membuka kisah yang luput dari ingatan—kisah yang sebenarnya tidak begitu menusuk, karena samar—namun dibuat sedemikian lekat dalam diri seorang peserta. Biasanya, pemandu acara menyulap suaranya menjadi lebih gemetar, rangkulnya menguat, dan diakhiri dengan kalimat motivasi, yang memberi makna kesabaran. Ia—pemandu acara—mengerti: nilai jual program seperti ini terletak pada tangisnya. Ketika ia mampu menghadirkan kisah sedih, dan tangis penonton mengepung panggung, maka di situlah ia dinilai berhasil.
Dalam kasus ini, sebagian dari kisah sedih adalah aib.

Beberapa dasawarsa lalu, jauh sebelum ‘bisnis air mata’ masuk ke dalam lingkup media, seorang pria asal Tiongkok sudah lebih dulu menyadari bahwa tangis ialah ladang uang. Ia, yang diceritakan sastrawan Liao Yiwu, adalah pemuda miskin bernama Li Changgeng yang tinggal di wilayah Jiangyou, provinsi Sichuan, Tiongkok.

Ketika umurnya belum lagi 13 tahun, Li mulai tekuni profesi yang, dirasa, tidak umum. Ia menyebutnya: Sang Juru Tangis.

Cara kerja Li adalah menghadiri upacara pemakaman, menumpahkan air mata, dan menerima upah. Mereka yang memakai jasa Li percaya, bahwa duka dalam upacara berkabung tak akan berlangsung lama. Tangis hanya meledak di awal—sewaktu keluarga melihat jasad si mendiang. Selebihnya adalah upaya menahan diri, dan duka lenyap begitu saja.

Li mengaku, intensitas tangisnya tergantung upah yang ia dapat. Kalau bayarannya bagus, ia akan membuat banyak improvasi demi menyenangkan hati tuan rumah. Tangisnya adalah persuasi hebat. Siapa saja yang melihatnya menangis akan menyertakan diri untuk ikut menangis. Upah juga menentukan durasi duka. Tuan rumah yang membayar mahal akan mendengar tangis Li lebih lama—lebih haru. Upacara pemakaman yang mestinya membawa kesedihan sementara, kini adalah duka yang lebih panjang.

Li adalah versi lama dari komodifikasi yang dibawa Mikrofon Pelunas Hutang. Dengan sedikit perbedaan: Li menghimpun uang secara terang-terangan. Li menyatakan diri sebagai Juru Tangis, itulah keahliannya. Tanpa tangis ia tak bisa membiayai hidupnya.

Sedikit lebih samar, Mikrofon Pelunas Hutang memainkan drama tangis begitu halus. Rasa penasaran kita terhadap nasib orang lain, ditambah pesona kesedihan yang sebatas dalih mendongkrak rating, membuatnya berhasil diminati banyak penonton. Suatu keberhasilan yang berimplikasi pada iklan komersial yang berjejal masuk di antara jeda program. Tidakkah benar bahwa kesedihan adalah ladang uang?

Dalam suatu wawancara, Li mengatakan bahwa lama-kelamaan dirinya tak lagi punya perasaan. Ia beku menghadapi duka. Tangisnya bukan lagi bagian dari perasaan, melainkan tuntutan yang dikomersialkan. Ketika mengetahuinya, saya bertanya-tanya: apakah itu juga yang dirasakan sang pemandu acara Mikrofon Pelunas Hutang? Merasakan bahwa ia tak lagi memiliki perasaan?

Yang jelas, selama tangis masih dipertontonkan, dan kesulitan hidup bukan lagi hal yang perlu disembunyikan, air mata tetap jadi air yang paling menguntungkan.



2 komentar:

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini