Sang Pencipta tidak
hanya mengukir perasaan manusia dengan moral, tapi juga mengikatnya dengan
naluri yang sanggup membedakan mana perilaku baik dan mana perilaku buruk.
Hari ini saya
adalah muslim. Besok, lusa, dan tahun-tahun berikutnya, inshaa Allah, saya
tetap menjadi muslim. Agama saya senantiasa memerintahkan penganutnya untuk
berperangai baik. Kepada siapapun; kepada golongan apapun.
Anjuran berbuat
baik juga disiarkan oleh agama samawi lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Kitab
mereka, melalui suara-suara yang mereka percaya sebagai sabda Tuhan, menekankan
pada kedamaian dan keamanan dalam berkehidupan.
Begitu juga dengan
agama budaya, dan agama lain yang muncul pada peradaban-peradaban baru, semua
selalu berbicara tentang perbuatan baik kepada sesama manusia. Hal ini yang
menuntun saya pada sebuah konklusi, bahwa ‘kemanusiaan’ adalah agama paling
hakiki di muka bumi.
Namun ada
keganjilan yang hingga detik ini memaku keislaman saya: tentang posisi
mereka—manusia baik yang tidak beragama islam—di hadapan Tuhan Semesta Alam.
Apakah naluri kemanusiaan kita sangup tega, ketika melihat tubuh manusia baik
terbakar api karena tak memeluk agama Illahi? Jika iya, berarti agama adalah
simbol perpecahan yang mengkubukan manusia berdasarkan golongannya, bukan
perilaku atau moralnya.
Semester lalu, saya
sempat menghadapi kebingungan hebat. Ketika tenggat waktu pembayaran SPP kian
terpangkas menuju batas akhir, saya tidak juga tenang. Sebab masih ada kekurangan
administrasi yang harus terlunasi. Jika uang tidak lekas dibayarkan, maka
kesempatan saya mengikuti Ujian Semester akan musnah, terkubur oleh tanah.
Sungguh saya sudah berdo’a pada Allah untuk diturunkan rezeki yang masih
bergelayut di atas langit. Namun, rezeki itu tidak juga jatuh. Sampai akhirnya,
seorang teman di kampus menawarkan saya pekerjaan. Namanya Anissa, teman satu
fakultas, seorang gadis pemeluk agama Nasrani. Dengan kebaikan hatinya tersebut,
semua kegelisahan saya akhirnya tertolong. Syukur, syukur, alhamdulillah.