28 Mei 2016

Saya Tidak Tega

Sang Pencipta tidak hanya mengukir perasaan manusia dengan moral, tapi juga mengikatnya dengan naluri yang sanggup membedakan mana perilaku baik dan mana perilaku buruk.

Hari ini saya adalah muslim. Besok, lusa, dan tahun-tahun berikutnya, inshaa Allah, saya tetap menjadi muslim. Agama saya senantiasa memerintahkan penganutnya untuk berperangai baik. Kepada siapapun; kepada golongan apapun.

Anjuran berbuat baik juga disiarkan oleh agama samawi lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Kitab mereka, melalui suara-suara yang mereka percaya sebagai sabda Tuhan, menekankan pada kedamaian dan keamanan dalam berkehidupan.

Begitu juga dengan agama budaya, dan agama lain yang muncul pada peradaban-peradaban baru, semua selalu berbicara tentang perbuatan baik kepada sesama manusia. Hal ini yang menuntun saya pada sebuah konklusi, bahwa ‘kemanusiaan’ adalah agama paling hakiki di muka bumi.

Namun ada keganjilan yang hingga detik ini memaku keislaman saya: tentang posisi mereka—manusia baik yang tidak beragama islam—di hadapan Tuhan Semesta Alam. Apakah naluri kemanusiaan kita sangup tega, ketika melihat tubuh manusia baik terbakar api karena tak memeluk agama Illahi? Jika iya, berarti agama adalah simbol perpecahan yang mengkubukan manusia berdasarkan golongannya, bukan perilaku atau moralnya.

Semester lalu, saya sempat menghadapi kebingungan hebat. Ketika tenggat waktu pembayaran SPP kian terpangkas menuju batas akhir, saya tidak juga tenang. Sebab masih ada kekurangan administrasi yang harus terlunasi. Jika uang tidak lekas dibayarkan, maka kesempatan saya mengikuti Ujian Semester akan musnah, terkubur oleh tanah. Sungguh saya sudah berdo’a pada Allah untuk diturunkan rezeki yang masih bergelayut di atas langit. Namun, rezeki itu tidak juga jatuh. Sampai akhirnya, seorang teman di kampus menawarkan saya pekerjaan. Namanya Anissa, teman satu fakultas, seorang gadis pemeluk agama Nasrani. Dengan kebaikan hatinya tersebut, semua kegelisahan saya akhirnya tertolong. Syukur, syukur, alhamdulillah.


Itu bukan kali pertama saya diperlakukan baik oleh teman Nasrani. Pernah suatu ketika, di awal semester, saya berhadapan dengan deadline tugas fotografi. Dalam tugas ini, semua hasil jepretan yang saya bidik menentukan nilai UAS saya nanti. Namun, masalahnya, deadline hadir di waktu yang keliru. Tidak ada kamera. Tidak ada kendaraan menuju tempat pengambilan gambar. Bingung, tentu saja bingung. Berdo’a, tentu saja berdo’a. Namun jawaban belum juga menampakkan dirinya.

Menjelang sore, seorang teman Nasrani bernama Charli—yang belakangan mendeklarasikan dirinya sebagai atheis—menghampiri saya yang sedang duduk di pelataran mushalla. Entah Tuhan berbisik di telinganya atau karena panggilan kemanusiaan yang diam-diam menyelubungi hatinya, tiba-tiba saja Charli berkata, “Han, kalau mau ngerjain tugas, pakai kamera gue aja.”

Tubuh saya tersentak. Saya tidak pernah mengatakan apa-apa sebelumnya. Bahkan, kala itu, bisa dibilang keakraban kita belum sedekat sekarang.

Dia melanjutkan tawarannya dengan mengatakan, “Ini, Han; kunci motor, STNK, sama SIM. Hati-hati ya. Gue tunggu depan kampus. Jangan buru-buru, santai aja. Sampai malem juga nggak masalah.”

Ada sentakan kedua yang hampir menjatuhkan tubuh saya. Baik sekali anak ini, batin saya berkata. Belum terlalu akrab saja sudah berani menyerahkan kamera dan motor serta surat-suratnya. Apalagi sudah?

Kemudian saya teringat kepada muslim yang barbar. Seorang koruptor dengan kopiah, takbir, dan sumpah serapah atas nama Tuhan di bawah kitab suci Qur’an, kemudian mereka melanggar, keluar dari jalur syari’at. Menyedihkan hati Rasul serta malaikat yang menyaksikannya. Atau bagaimana dengan guru ngaji yang menyetubuhi gadis-gadis di bawah umur? Kenapa mereka ini? Apakah doktrin ‘muslim pasti merasakan syurga’ dijadikan pembelok atas tindakan tercelanya? Toh jahat saja, setidaknya kami muslim. Kami layak masuk syurga.

Sampah!
Umat muslim seperti itu baiknya terkurung di dalam ranjang sampah!

Biar saja mereka membangkai bersama bangkai. Tubuhnya yang sok suci digerogoti pelan-pelan oleh belatung. Tiap tetes darahnya akan menghidupi belatung-belatung baru. Sampai kemudian petugas kebersihan memindahkan bangkai itu ke gundukan sampah yang lebih tinggi. Biar tahu rasa!

Tapi semoga tidak dengan kawan Nasrani saya tadi. Sungguh saya tidak sampai hati seandainya melihat tubuh mereka tergulung-gulung di atas bara api, sementara para muslim bejat berdiri di atas syurga sambil melambaikan tangannya. Demi pemilik syurga, saya tidak akan tega menyaksikannya. Tidak akan pernah tega. Syurga bukan milik muslim, syurga adalah milik mereka yang hatinya bersih. Setidaknya itu harapan saya.



Bekasi, 27 Mei 2016.

5 komentar:

  1. kayaknya kita satu pikiran deh tentang surga. keliatan gak adil kalo orang baik kudu masuk neraka karna dia bkn islam

    BalasHapus
  2. Jadi ingat temanku yang nasrani juga. Dia tiap hari sengaja belokin motornya buat antar dan jemput saya di rumah. Padahal jarak antara rumah dia dan rumahku lumayan jauh :")

    BalasHapus
  3. aku juga berpikir demikian sih. gimana orang dengan agama-agama lain yang taat dengan agamanya, yang baik akhlaknya, masa iya gak masuk surga?

    BalasHapus
  4. Semua manusia wajar kalau mengharapkan surga, tapi urusan nanti masuk atau ngga, ya itu mah urusan Tuhan Yang Maha Esa.

    BalasHapus

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini