“Shalat itu bukan sekedar ibadah
menghadap Tuhan; tapi shalat juga wujud tanggung jawab kita kepada Sang Pencipta.
Kalau kamu dekat dengan wanita
yang belum kenal ibadah dan dia berjanji akan segera melakukannya saat sudah
menikah denganmu, tinggalkan. Ibadah bukan soal ‘kenapa’ dan ‘kapan’. Kalau dia
belum mampu menepati janjinya pada Pencipta, kamu jangan pernah berharap lebih
darinya.”
-
Ibu, beberapa bulan
lalu.
Aku gak menuntut calon pasangan yang gila
agama—nggak. Buatku, agama hadir untuk diresapi, bukan digilai. Segila-gilanya
dia dengan agama, mungkin masih dalam batasan wajar. Yang tau dan sadar, bahwa
dunia dan akherat sebaiknya dijunjung dengan porsi yang seimbang.
Ibuku bilang, bahwa ibadah adalah wujud tanggung jawab
seseorang pada pencipta. Aku setuju—bahkan sangat setuju. Namun, ibadah
memiliki fungsi yang jauh lebih luas lagi. Selain wujud tanggung jawab pada
pencipta, seseorang juga mampu melatih tanggung jawab hidupnya melalui ibadah.
Katakan seandainya ibadahku dan ibadahmu tidak sama.
Aku 35 kali seminggu, sedangkan kamu sekali seminggu. Aku bersujud tanpa suara,
sedangkan kamu bernyanyi dengan suara. Namun, di balik semua perbedaan itu,
terdapat satu kesamaan yang menjadikan kita lebih baik: komitmen terhadap janji.
Kamu terlahir sebagai Kristen, maka tugasmu setiap
minggu adalah pergi ke gereja dan berdo'a. Kalau tidak? Maka kamu akan gagal
terhadap janji-janji yang lain—termasuk kepada kekasih hatimu.
Aku terlahir sebagai Islam, maka tugasku adalah
shalat. Kalau aku lupa atau sengaja meninggalkannya? Berarti aku ingkar dan
tidak bisa dipercaya sama sekali.