Mereka bilang, cinta
hanya perlu diungkapkan; penolakan bukan lagi jadi persoalan. Tapi bagaimana
jika ketakutan terbesar kita bukan lagi tentang penolakan, melainkan
pertimbangan menghadapi segala kemungkinan?
Manusia dihadapkan pada
banyak sekali kemungkinan. Ketika memutuskan untuk mengikat komitmen dengan
seseorang, maka kemungkinan tersebut akan mengakar dan menciptakan
kemungkinan-kemungkinan baru.
Dan itulah yang menjadi
ketakutan manusia dewasa.
Aku, termasuk di
dalamnya.
***
Manusia dewasa adalah
makhluk yang paling rumit. Jika sebuah kemungkinan
belum terkonsep rapi, mereka akan menghindari komitmen—bahkan untuk sekedar
mengutarakannya saja, mereka pun sulit dan terkesan ragu-ragu.
Kerumitan cinta usia
dewasa memutar ingatanku tentang masa-masa remaja dulu. Ketika kita mengagumi
seseorang, ‘desiran’ itu seperti cairan yang mengaliri rongga-rongga dada,
kemudian perlahan memuncak menyusuri kerongkongan dan pecah melalui kata-kata.
Kalimat “Aku suka kamu” kala itu bagai tiga kata tanpa pertimbangan. Terlepas
begitu saja.
Sekian tahun lalu,
ketika duduk di bangku SMP, aku menyadari betul bahwa ketakutan kita dalam
menyatakan perasaan hanya terletak pada jawaban seseorang yang kita suka. Kita
tidak benar-benar yakin apakah ia menerima atau sebaliknya. Beda dengan
sekarang, ketakutan terbesar justru berasal dari diri sendiri. Ketakutan soal
ketidakmampuan membahagiakan, memberi ketenangan, atau lebih jauh dari itu,
memberi kepastian masa depan—berupa pekerjaan dan kemampuan finansial.