31 Des 2016

#MembahasRasa: Kesiapan Menerima Ketidaksiapan

Mereka bilang, cinta hanya perlu diungkapkan; penolakan bukan lagi jadi persoalan. Tapi bagaimana jika ketakutan terbesar kita bukan lagi tentang penolakan, melainkan pertimbangan menghadapi segala kemungkinan?

Manusia dihadapkan pada banyak sekali kemungkinan. Ketika memutuskan untuk mengikat komitmen dengan seseorang, maka kemungkinan tersebut akan mengakar dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru.

Dan itulah yang menjadi ketakutan manusia dewasa.
Aku, termasuk di dalamnya.

***

Manusia dewasa adalah makhluk yang paling rumit. Jika sebuah kemungkinan belum terkonsep rapi, mereka akan menghindari komitmen—bahkan untuk sekedar mengutarakannya saja, mereka pun sulit dan terkesan ragu-ragu.

Kerumitan cinta usia dewasa memutar ingatanku tentang masa-masa remaja dulu. Ketika kita mengagumi seseorang, ‘desiran’ itu seperti cairan yang mengaliri rongga-rongga dada, kemudian perlahan memuncak menyusuri kerongkongan dan pecah melalui kata-kata. Kalimat “Aku suka kamu” kala itu bagai tiga kata tanpa pertimbangan. Terlepas begitu saja.

Sekian tahun lalu, ketika duduk di bangku SMP, aku menyadari betul bahwa ketakutan kita dalam menyatakan perasaan hanya terletak pada jawaban seseorang yang kita suka. Kita tidak benar-benar yakin apakah ia menerima atau sebaliknya. Beda dengan sekarang, ketakutan terbesar justru berasal dari diri sendiri. Ketakutan soal ketidakmampuan membahagiakan, memberi ketenangan, atau lebih jauh dari itu, memberi kepastian masa depan—berupa pekerjaan dan kemampuan finansial.