31 Des 2016

#MembahasRasa: Kesiapan Menerima Ketidaksiapan

Mereka bilang, cinta hanya perlu diungkapkan; penolakan bukan lagi jadi persoalan. Tapi bagaimana jika ketakutan terbesar kita bukan lagi tentang penolakan, melainkan pertimbangan menghadapi segala kemungkinan?

Manusia dihadapkan pada banyak sekali kemungkinan. Ketika memutuskan untuk mengikat komitmen dengan seseorang, maka kemungkinan tersebut akan mengakar dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru.

Dan itulah yang menjadi ketakutan manusia dewasa.
Aku, termasuk di dalamnya.

***

Manusia dewasa adalah makhluk yang paling rumit. Jika sebuah kemungkinan belum terkonsep rapi, mereka akan menghindari komitmen—bahkan untuk sekedar mengutarakannya saja, mereka pun sulit dan terkesan ragu-ragu.

Kerumitan cinta usia dewasa memutar ingatanku tentang masa-masa remaja dulu. Ketika kita mengagumi seseorang, ‘desiran’ itu seperti cairan yang mengaliri rongga-rongga dada, kemudian perlahan memuncak menyusuri kerongkongan dan pecah melalui kata-kata. Kalimat “Aku suka kamu” kala itu bagai tiga kata tanpa pertimbangan. Terlepas begitu saja.

Sekian tahun lalu, ketika duduk di bangku SMP, aku menyadari betul bahwa ketakutan kita dalam menyatakan perasaan hanya terletak pada jawaban seseorang yang kita suka. Kita tidak benar-benar yakin apakah ia menerima atau sebaliknya. Beda dengan sekarang, ketakutan terbesar justru berasal dari diri sendiri. Ketakutan soal ketidakmampuan membahagiakan, memberi ketenangan, atau lebih jauh dari itu, memberi kepastian masa depan—berupa pekerjaan dan kemampuan finansial.


Tentang pengalamanku ketika SMP dulu, aku memiliki teman bernama Dio. Tentu saja aku menyamarkan namanya, demi menjaga privasinya.

Dio adalah anak lelaki sederhana yang secara fisik tidak terlalu istimewa. Rambutnya tersisir rapi, klimis ke arah kiri. Terkadang ia melancipkan bagian atas rambutnya menggunakan gel. Di tahun itu, rambutnya adalah yang terbaik. Setidaknya menurut dia, dan adiknya yang belum sekolah.

Dio selalu berangkat sekolah lebih pagi dibanding anak-anak lain. Sepeda BMX-nya selalu ia kayuh sekuat tenaga, seakan paling cepat bagai jet darat. Ketika sampai di ruang kelas, ia buru-buru menuju kamar mandi, mencari cermin, dan kembali menyisir rambutnya.

Aku mengenal Dio cukup dekat. Kita sering bertukar cerita ketika guru sedang tidak ada. Dia bertanya, perempuan seperti apa yang aku suka? Perempuan yang pintar, jawabku. Dan ketika aku ganti bertanya, dia mengarahkan jari telunjuknya ke arah gadis bernama Anya (nama ini juga disamarkan). “Perempuan seperti itu, Han.” Katanya, dengan binar mata berkilatan. Dan mulai dari sini, aku menemukan sesuatu yang tidak bisa ditemukan di usia dewasa, suatu hal yang melangka; kesederhanaan, serta keyakinan.

Seminggu setelahnya Dio menemui Anya untuk mengungkapkan rasanya. Ia memintaku menamaninya. Diam-diam aku sembunyi di balik dinding dekat mereka. Setelah sekian kali berganti topik, akhirnya Dio berani mengatakannya.

“Anya, aku suka kamu.”

Hening memayungi mereka sejenak. Andai aku bisa melihat wajah Dio, sudah habis dia kutertawakan.

Kemudian terdengar ketepak kaki melangkah cepat. Anya berlari melintasiku. Rambutnya berkibar tersapu angin. Secara bersamaan wajah Dio muncul di balik dinding, “Bukan ditolak,” katanya. “Cuma belum diterima aja.”

Keyakinannya tidak juga mereda. Dio benar-benar menaruh beribu harapan kepada Anya. Berkali-kali konsentrasi belajarnya pecah karena delik matanya selalu menyorot Anya. Sudah sering ia ditegor guru karena ulahnya itu, namun alasannya tetap sama: Lain kali tidak terulang lagi.

Dan ia mengulangnya hingga jutaan kali.

Bulan berikutnya, Dio kembali berusaha mendekati Anya. Ketika jam pelajaran kosong karena guru berhalangan hadir, Dio menulis di selembar kertas dengan huruf kapital: “SEKARANG UDAH SUKA AKU BELUM?”

Kemudian ia melipatnya, dan menaruhnya di dalam laci meja Anya. Sialnya, Anya tidak membalas. Bahkan melihat pun sepertinya tidak.

Dio sering menulis kalimat itu setiap pagi, berharap siangnya Anya dapat membacanya. Namun, kertas itu selalu menghilang setiap kali ia memeriksanya. Jika petugas kebersihan yang memungutnya, tidak masalah. Tapi jika ternyata yang memungutnya adalah anak kelas tujuh yang mengisi ruangan setiap siang? Bisa mampus ia ditertawakan.

Hari-hari berikutnya masih sama, ia menulis kalimat: “SEKARANG UDAH SUKA AKU BELUM?” berulang-ulang. Namun tetap tidak menemui hasil. Ia pernah mengajak Anya pergi ke lapangan bola untuk melihatnya bertanding. Tidak ada penolakan dari Anya, namun tidak juga ada persetujuan. Anya cenderung mendiamkannya, tanpa mempertegas apa sesungguhnya yang ia rasa.

Hingga suatu pagi, kertas-kertas itu tertumpuk di laci meja Dio. Jumlahnya belasan, atau mungkin puluhan. Di puncak tumpukan kertas, terdapat satu kertas berukuran lebih besar. Dio membukanya, dan terlonjak kegirangan.

SUDAH.
Kertas itu bertulisan: S U D A H.

Dio belum sepenuhnya percaya. Mimpikah ia? Atau kertas itu berasal dari anak kelas tujuh yang ingin mengerjainya? Bergegas ia berlari menuruni tangga, mencari-cari Anya yang sedang membeli minuman di koperasi sekolah. Ketika berhasil menemukannya Dio lekas menghampirinya. Anya tersenyum, dan berkata, “Perlu dijawab secara langsung?”

Dio meledak hebat. Kepulan asap seperti keluar dari lubang-lubang tubuhnya. Hari itu tidak ada nama lain di kepalanya, selain nama Anya.

Sesederhana itu; sesederhana mengungkapkan perasaan melalui selembar kertas. Mungkinkah kita—dan manusia dewasa lain—melakukannya? Atau bagaimana tentang Anya? Yang sabar dan rela menunggu demi melihat kesungguhan hati Dio? Mampukah kalian—dan manusia dewasa lain—hanya melakukan pertimbangan melalui kesungguhan, tanpa pertimbangan lain yang memberatkan?

Mampukah?

Mungkin kita tak bisa lagi mengulang kebiasaan-kebiasaan usia remaja; kita juga tak bisa lagi memainkan peran seorang Dio, ataupun Anya. Kita sudah mulai lelah mengemas cinta menjadi suatu hal yang menyenangkan. Namun memang sudah begitu hukum alamnya, dan tak seorang pun sanggup menolak.

Saat ini aku merasakan betul bagaimana bodohnya mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang kapan memiliki pasangan. Mereka menanyakannya berulang-ulang, seakan-akan dengan tidak memiliki pasangan, aku akan menjerit-jerit di ruang kosong dan berjalan dengan langkah penuh kekalahan. Aku baru berdiri di awal dua puluh, pelan-pelan kedewasaan membelit kepalaku dengan segala pemikiran penuh pertimbangan. Aku memang belum sepenuhnya dewasa, namun sudah keluar dari keremajaan. Satu hal yang selalu ‘Dewasa’ bisikan kepadaku adalah: bahwa ada satu hal yang lebih penting dari sekedar cinta.

Yaitu tanggung jawab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini