26 Nov 2016

#MembahasRasa: Memahami Kemungkinan yang Belum Terpikirkan

Di usia yang sekarang, aku masih tidak mengerti bagaimana definisi cinta yang sebenar-benarnya. Beberapa definisi yang aku kantongi sekarang adalah hasil pemaknaan dari orang lain, bukan sebagai pelaku yang merasakannya secara langsung.

Aku pernah mendengar bagaimana seorang teman yang cukup agresif mengatakan bahwa cinta adalah kekagumannya kepada wanita pemilik badan sintal. Teman yang lebih pendiam mengatakan bahwa cinta adalah kekagumannya terhadap sisi kesederhanaan seorang wanita. Kebingunganku meledak ketika temanku yang berpegang teguh pada agama mengatakan bahwa cinta hanya berlaku untuk Tuhan, manusia hanya berperan sebagai perantara.

Ketidaksadaran akan pemaknaan cinta itu yang membuat manusia terbelenggu kekeliruan. Ada banyak sekali kemungkinan yang sudah melambaikan tangannya di kejauhan. Jika terus diabaikan, lambaian tangan tersebut akan berubah menjadi jabat tangan. Secara tidak langsung, ketidaksadaran itulah yang membawamu pada kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah terpikirkan.

Barangkali kamu bertanya-tanya, kemungkinan seperti apakah yang aku maksud?

***

Tuhan merangkai wanita dari komponen-komponen yang rapuh. Wanita adalah makhluk yang rela menyisihkan logika demi memenangkan sebuah perasaan. Bagi mereka, sebuah ikatan adalah lambang kepercayaan. Dan ini yang menjadi masalah besar.

Aku selalu bertanya-tanya, kenapa wanita bisa semudah itu percaya kepada pasangannya? Atau, mungkinkah mereka merasa bahwa ‘ikatan’ adalah syarat tercapainya keterbukaan? Sehingga berpacaran saja dirasa sudah cukup untuk meyakinkan diri mereka mengenai eksistensi kepercayaan.

Tentu saja mereka salah besar.

Pasangan yang kamu pikir sungguh-sungguh mencintaimu sebenarnya palsu. Ia tidak mencintaimu, tapi mencintai dirinya sendiri. Lihat saja bagaimana cara ia mengungkapkan perasaannya. Terkesan egois dan hanya mengikuti keinginannya pribadi.

Ia mengatakan bahwa kamu cantik, dan ia menyukainya. Kemudian muncul sebuah perasaan, hingga akhirnya ia berusaha menjeratmu dalam ikatan ‘murahan’. Bukankah ini terkesan egois? Ia mendapatkanmu hanya untuk memenuhi keinginannya. Lebih buruk dari itu, ia hanya ingin mengetahui sejauh mana manfaat dari kecantikan yang kamu punya. Jika dirasa manfaat itu sudah pudar, ia akan melepas ikatannya. Kemudian menyiapkan sebuah tali yang baru.

Seseorang yang benar-benar mencintaimu memiliki alasan yang berbeda. Ia melihat sesuatu yang tidak tampak. Sesuatu yang ganjil yang harus digenapi. Mungkin ia melihat kesedihanmu, sehingga ia memiliki alasan untuk menghapusnya dengan cara mencintaimu. Atau ia melihat kerapuhanmu, sehingga ia merasa bahwa mencintamu adalah cara untuk menguatkanmu.
Seseorang yang benar-benar mencintamu, mencintamu karena kamu.

Sebuah pertemuan terkadang juga keliru. Pasanganmu mengatakan bahwa ia sedang ingin sekali bertemu, sementara kamu menolaknya karena ada kegiatan lain yang jauh lebih penting. Kemudian pasanganmu memakai ungkapan ‘rindu’ sebagai alat untuk mengelabuhimu. “Aku kangen kamu. Kalau kamu sayang aku, pasti kamu ada waktu untuk ketemu.

Basi.
Lagi-lagi tentang keinginan pribadi. Egois.

Aku ingin memberitahumu satu hal penting, bahwa cinta adalah perkara memahami dan memaklumi. Dua hal ini menjadi elemen terpenting dalam sebuah hubungan. Ketika sudah mampu memahami dan memaklumi, maka tak akan ada lagi perselisihan, ataupun pertikaian.

Sebagai contoh kasus pertemuan di atas. Jika pasanganmu benar-benar mencintaimu, dia akan memahami. Sehingga kalimat yang pertama kali timbul dari kepalanya adalah: ”Silakan, kegiatanmu adalah prioritas.” Dan diikuti oleh kalimat: “Boleh aku mengantarmu?

Tampak sederhana namun hanya sedikit yang berhasil menyadarinya.

Akhir pekan lalu temanku bercerita tentang pacar barunya. Ia secara terang-terang mengatakan bahwa pacarnya adalah lelaki yang penuh pengorbanan, lelaki yang menurutnya sudah melangka, dan sulit ditemukan di muka bumi.

“Gue cukup beruntung, Han.” tutupnya, setelah bertutur penuh perandaian.

“Beruntung?”

“Iya, coba elo itung ada berapa cowok yang rela ngorbanin waktunya untuk nganter pacarnya cari pot bunga sementara di luar sedang ujan lebat?” Dia menarik napasnya satu kali dan menjawab pertanyaannya sendiri. “Hampir nggak ada, Han!”

“Terus dia bilang apa?”

“Dia bilang: Aku rela hujan-hujanan demi kamu.”

“Itu yang dinamakan berkorban?”

“Ini yang dinamakan berkorban.”

Rasa-rasanya hatiku memaki penuh hujatan. Kata yang pertama melintas di kepalaku adalah ‘basi’, sementara kata kedua adalah ‘bodoh’. Kebodohan yang mulai membasi.

Berkorban, menurutku, tidak menjelaskan apa-apa. Berkorban bukan cinta, melainkan kalkulasi, hitung-hitungan. Kalau ia sampai mengatakan bahwa dirinya telah berkorban hanya untuk melakukan hal-hal kecil, itu pertanda ia tidak memiliki kesungguhan. Kalimat “Aku rela hujan-hujanan demi kamu” secara jelas membuktikan bahwa kemampuannya hanya sebatas itu. Sebab kata ‘berkorban’ biasanya hanya dipakai untuk peristiwa-peristiwa yang dirasa berat dan berada di ambang batas kemampuan seseorang.

Jika hujan-hujannya saja sudah dianggap sebagai bentuk pengorbanan, lantas bagaimana dengan pemberian serta penjagaan lainnya?

Beberapa waktu lalu aku menyaksikan program Tedx di Bandung. Pengisi acaranya adalah Sudjiwo Tedjo. Kalimat “Pengorbanan adalah kalkulasi” adalah ucapannya saat itu. Menurut Tedjo, pengorbanan adalah sesuatu yang bisa diukur, dan ketika seseorang merasa berkorban maka ia pasti memiliki batas. Maka hilang sudah kemurnian cintanya.

Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa aku berusaha memisahkan antara ‘cinta’ dan ‘pengorbanan’. Mungkin kalian juga bertanya-tanya mengapa aku memandang pengorbanan sebagai suatu hal yang cenderung dibuat-buat. Tapi mungkin juga kalian lupa, bahwa yang cinta butuhkan hanya pemahaman dan pemakluman, seperti yang selalu aku singgung sejak awal.

Aku membayangkan seandainya semua manusia dibekali oleh naluri memahami yang baik, maka tidak akan ada lagi pengorbanan yang dibuat-buat. Mereka akan melakukan segalanya tanpa paksaan: mengantar karena ingin; berhujan-hujanan karena memang seharusnya. Jika semua orang memiliki naluri memahami, maka tidak akan ada lagi pertengkaran karena rasa curiga. Segala firasat yang melintas akan terjawab dengan ketenangan.

Jadilah seseorang yang sanggup memahami, maka prasangka-prasangka akan teredam.
Pilihlah seseorang yang sanggup memahami, maka tidak akan ada kekhawatiran.

Cinta adalah tentang memahami, sebelum kita benar-benar mengerti, lalu memaklumi. Hingga akhirnya saling menerima.

2 komentar:

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini