Apa yang terbayang di
benak kalian ketika mendengar kata MOS?
MOS adalah tiga huruf
hasil kependekan dari Masa Orientasi Siswa. MOS adalah tiga huruf yang selalu
membayangi pikiran anak dan orang tua. MOS adalah tiga huruf yang sampai
sekarang keberadaannya dianggap sebagai kegiatan menakutkan. Lantas, mengapa sampai
sekarang kegiatan MOS masih diadakan oleh banyak instansi pendidikan? Mengapa
tidak dihilangkan saja dan diganti dengan kegiatan yang lain?
Ini jawabannya: karena
MOS sudah menjadi budaya dalam pendidikan nusantara.
Berbicara tentang MOS, saya
menjadi manusia yang menolak rencana pemerintah menghapus kegiatan ini. Bukan
karena saya ingin balas dendam karena dulu mendapat perlakuan mengerikan dari
senior, tapi setelah diperhatikan lebih jeli lagi saya melihat adanya hal baik
dalam kegiatan ini. Namun, tentu saja, dengan batasan-batasan wajar.
Ketika masuk SMP dulu,
saya memiliki cerita menarik tentang MOS. Dan hal ini yang kemudian memberi
keyakinan pada saya bahwa MOS harus tetap ada. Kalau ingin diperbaiki boleh,
asal jangan sampai dihilangkan.
Waktu itu hari Senin
awal bulan Juli. Seluruh calon siswa sudah berkerumun di depan pintu gerbang,
menanti-nanti kapan penjaga akan membukanya.
Saya sudah menunggu di
dekat pohon besar yang berada di seberang pintu gerbang. Dengan kaos kaki
warna-warni, sendal beda corak, kalung yang terbuat dari bahan-bahan aneh, dan
mahkota kertas, saya berdiri mematung sambil membayangkan betapa malunya saya
hari itu. Karena di saat teman-teman datang ke sekolah diantar oleh orang tua,
saya datang menaiki sepeda. Sehingga sepanjang perjalanan dari rumah sampai
sekolah semua yang melihat saya bisa bebas menertawakan. “Mau pergi ke mana lu,
tong? Sirkus?” kemudian diikuti oleh gelak tawa yang terkesan meledek. Jancuk!