24 Jul 2016

MOS dan Kesetaraan Pelajar

Apa yang terbayang di benak kalian ketika mendengar kata MOS?

MOS adalah tiga huruf hasil kependekan dari Masa Orientasi Siswa. MOS adalah tiga huruf yang selalu membayangi pikiran anak dan orang tua. MOS adalah tiga huruf yang sampai sekarang keberadaannya dianggap sebagai kegiatan menakutkan. Lantas, mengapa sampai sekarang kegiatan MOS masih diadakan oleh banyak instansi pendidikan? Mengapa tidak dihilangkan saja dan diganti dengan kegiatan yang lain?

Ini jawabannya: karena MOS sudah menjadi budaya dalam pendidikan nusantara.

Berbicara tentang MOS, saya menjadi manusia yang menolak rencana pemerintah menghapus kegiatan ini. Bukan karena saya ingin balas dendam karena dulu mendapat perlakuan mengerikan dari senior, tapi setelah diperhatikan lebih jeli lagi saya melihat adanya hal baik dalam kegiatan ini. Namun, tentu saja, dengan batasan-batasan wajar.



Ketika masuk SMP dulu, saya memiliki cerita menarik tentang MOS. Dan hal ini yang kemudian memberi keyakinan pada saya bahwa MOS harus tetap ada. Kalau ingin diperbaiki boleh, asal jangan sampai dihilangkan.

Waktu itu hari Senin awal bulan Juli. Seluruh calon siswa sudah berkerumun di depan pintu gerbang, menanti-nanti kapan penjaga akan membukanya.

Saya sudah menunggu di dekat pohon besar yang berada di seberang pintu gerbang. Dengan kaos kaki warna-warni, sendal beda corak, kalung yang terbuat dari bahan-bahan aneh, dan mahkota kertas, saya berdiri mematung sambil membayangkan betapa malunya saya hari itu. Karena di saat teman-teman datang ke sekolah diantar oleh orang tua, saya datang menaiki sepeda. Sehingga sepanjang perjalanan dari rumah sampai sekolah semua yang melihat saya bisa bebas menertawakan. “Mau pergi ke mana lu, tong? Sirkus?” kemudian diikuti oleh gelak tawa yang terkesan meledek. Jancuk!


Tidak lama setelah saya menggembok roda sepeda, sebuah mobil mewah melintas di depan saya, dan berhenti cukup jauh dari gerbang. Lexus, pikir saya waktu itu, kemudian mengoreksinya setelah melihat logonya baik-baik. Wow, Mercy!

Seorang gadis seusia saya turun dari mobil dengan wajah lesu, sepertinya ia tidak senang dengan hari itu. Langkahnya sempat berhenti beberapa saat, sebelum akhirnya ia melepas seluruh atribut yang dikenakan.

Setelah sampai di pintu gerbang, ada salah satu senior yang menghampirinya. Karena merasa penasaran, saya juga ikut mendekat, hanya untuk mendengar apa yang senior katakan. Seperti tebakan saya, senior itu membentak calon-siswi-tanpa-atribut ini. “Kamu niat nggak, sih?” bentak senior hingga air liurnya tak sengaja terciprat ke wajah calon siswi tadi. “Cepet pasang atributmu!” bentakan keduanya lebih keras, sehingga anak itu berlari kembali ke mobil dengan air mata yang berderai ke pipinya.

Lemah, pikir saya kala itu. Kalau dibentak senior aja sudah menangis, apalagi dibentak atasan perusahaan. Kemudian saya sadar bahwa saat itu ia masih anak-anak. Menangis adalah hal yang bisa dikatakan wajar.

Beberapa menit setelahnya, gadis itu kembali menemui senior. Kali ini dia datang dengan angkuh karena didampingi oleh ayahnya yang berpakaian parlente. Mereka benar-benar hadir dari kalangan terpandang.

“Kenapa anak saya nggak dibolehkan masuk?” mata sang ayah menyorot wajah senior, sehingga senior tidak bisa berkata apa-apa dan terkesan kikuk.

“Nganu, Pak…”

“Nganu apa?!”

“Anak Bapak….”

“Anak saya kenapa?!”

“Ng-nggak pakai atribut MOS.”

“Apa-apaan kamu ini! kegiatannya kan di dalam sekolah, sementara sekarang anak saya masih di luar!”

Tubuh senior seperti disentak oleh bentakan Papi Parlente.

“Kamu mau melanggar aturan sekolah, hah?”

“Bukan begitu, Pak….”

“Kalau begitu, biarkan anak saya masuk!”

“Ba-baik, Pak. Silakan.”

Akhirnya ia dibolehkan masuk tanpa mengenakan atribut MOS. Dengan syarat: atribut tersebut harus dipakai ketika kegiatan sudah dimulai. Tidakkah ini tampak menyebalkan di mata kalian? Jelas saja iya. Keadilan seperti dilanggar oleh stratifikasi sosial. Yaitu usia dan kekuasaan.

Ketika hari mulai siang dan kegiatan mulai memasuki acara inti, saya melihat gadis itu berdiri di samping saya. Ternyata dia masuk pot dua, sementara saya pot tiga. Jika diperhatikan baik-baik wajah gadis ini sebenarnya ramah dan terkesan sederhana, tapi karena biasa hidup bermewahan ia praktis menjadi anak yang manja.

Di depan barisan, seorang senior berbisik beberapa detik. Lalu mereka memanggil nama gadis itu. Saya tidak ingat namanya, yang jelas namanya bagus dan modern.

Gadis itu maju ke depan dan dibuat malu oleh senior di hadapan teman-teman. Tapi ia tidak menangis, merengek, atau mengadu. Karena tidak ada ayahnya di sini, jadi yang bisa ia lakukan hanya menurut dan mengiyakan intruksi dari senior.

Berikutnya gantian nama saya yang dipanggil. Saya disuruh maju ke depan, lalu diintruksikan untuk membuat gombalan yang selanjutnya ditujukan kepada senior perempuan. Kalau boleh jujur, lebih baik saya disuruh push-up atau sit-up sebanyak ratusan kali ketimbang harus menggombal di depan banyak orang. Selain malu, saya tidak berbakat dalam hal ini.

Setelah saya, calon pelajar lain juga dipaksa maju. Kemudian kegiatan bergilir ini berlanjut hingga belasan murid. Semua melakukannya dengan suka rela, atau lebih tepatnya terpaksa suka.

Kejadian ini memberi kesimpulan pada saya bahwa MOS ternyata memiliki manfaat tersembunyi: yaitu penyetaraan kaum. Ketika sedang MOS, seluruh calon pelajar (dari berbagai kalangan dan tingkat ekonomi) seperti mengalami penyetaraan, karena mereka semua mendapat perlakuan yang sama dari senior. Dan ketika MOS pula kaum bourjois dan proletar seperti tidak memiliki jarak. Mereka berbaur menjadi satu, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain.

Peristiwa ini tidak ada bedanya dengan kegiatan berhaji atau umroh. Ketika sedang mengerjakan thawaf, semua manusia tampak sama. Mereka yang berprofesi sebagai atasan, bawahan, atau pesuruh, tampak tidak ada bedanya. Semuanya terlihat sama rata ketika mengitari pusat ka’bah.

Jadi kalau diamati baik-baik, ada satu detail yang sebaiknya dipertimbangkan pemerintah untuk tetap mengadakan MOS. Jika terjadi kekerasan berlebih atau bahkan pelecehan seksual, itu menandakan kurangnya pengawasan. Dan dapat kita simpulkan bahwa mereka yang ingin MOS dihapuskan adalah mereka yang tidak ingin repot-repot mengawasi kegiatan.

Angaplah jika dalam satu kegiatan ada satu perwakilan sekolah yang mengawas, pasti kejadian-kejadian yang tidak diinginkan tak mungkin terjadi. Karena mereka, para senior, merasa terkurung oleh awasan perwakilan sekolah, sehingga hasrat untuk melakukan hal berlebihan setidaknya dapat diredam.

Justru jika MOS dihapus akan menimbulkan bahaya lain yang mengerikan. Contohnya seperti seorang junior yang merasa kelas sosialnya berada di atas para senior, mereka akan melakukan penjajahan masal tanpa adanya rasa hormat. Kerena ‘uang’ adalah kekuasaan tertinggi. Dengan kekuatan ekonomi yang baik, seluruh detail sekolah akan mereka beli. Hal ini sering terjadi di sekolah swasta, di mana seorang pelajar konglomerat memiliki kursi sendiri di kantin, dan kursi itu tidak boleh ditempati oleh pelajar lain meski dalam keadaan kosong.

Coba bayangkan, bukankah itu tampak lebih mengerikan?

Kembali pada pengertian orientasi itu sendiri, yang memiliki arti: peninjaun sikap ke arah yang tepat dan benar. Jadi sudah jelas bahwa tidak ada kekeliruan terhadap sistemnya. Hanya pengaplikasiannya saja yang butuh lebih banyak pengawasan.

Wong saya itu sebenernya heran sama pemerintah. Mengawasi tidak pernah, meninjau tidak pernah, eh tiba-tiba berasumsi bahwa MOS itu kegiatan tidak perlu.

Ya memang tidak perlu bagi mereka. Karena dengan dihapuskannya kegiatan MOS, anak mereka bisa seenaknya berlaku di sekolah. Pejabat kan tunjangan gajinya besar—ekonominya lancar. Apa pun bisa mereka beli dan kuasai. Termasuk bangku kantin tadi.


HAHAHAHA.

5 komentar:

  1. Sebenernya bisa diterima sih kak.

    BalasHapus
  2. semua hal itu banyak sisi baik dan buruknya. perploncoan di sekolah2 menengah di luar negeri bahkan gak abis pas MOS doang kan. tergantung gimana menyikapinya aja. nice thought.

    BalasHapus
  3. Lagi-lagi setuju dengan tulisanmu :) aku cukup merasakan dampak positif MOS dan segala macam atributnya. Terutama untuk sebagian cewek yang dasarnya susah berbaur karena merasa adanya tembok stratifikasi sosial (maafkan bahasanya) antara yang kece dan yang tidak. Tapi dengan konsep penyetaraan di MOS, mereka bisa berbaur dengan cara yang asik *ea

    http://ekhahidayy.blogspot.co.id/

    BalasHapus
  4. ((namanya bagus dan modern))

    HAHAHAHA

    BalasHapus
  5. benar, mos memang penting tapi di jalankan sesuai dengan namanya 'masa orientasi sekolah' jadi cukup dengan mengenalkan, gak perlu lah pakai atribut yang terkadang buat mubajir kayak pakai pete, rumbai2 tali plastik...

    BalasHapus

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini