15 Jan 2017

#MembahasRasa: Seberapa Menjengkelkan Pasanganmu Di Usia Tua?

Aku dan kereta sudah akrab sejak tiga tahun lalu. Setiap pagi, ketika mobil berdesakkan di sepanjang jalan ibukota, aku dan penumpang lain justru berdesakkan di dalam kereta. Tapi sungguh, tak pernah aku mencelanya. Karena Jakarta memang harus dihadapi dengan kemampuan menerima, meski luar biasa susahnya.

Sore itu adalah hari terakhirku di semester lima. Aku pulang membawa perasaan lega karena lelahku akibat begadang dapat terobati oleh libur panjang. Jadi aku bergegas menuju stasiun, mengisi saldo kartu, dan menunggu kereta di peron jalur dua.

Kurang dari lima menit setelah menunggu, kereta datang membawa banyak sekali penumpang.

Aku melangkah masuk dan berdiri di samping wanita paruh baya. Di sebelahnya, lelaki tua berbadan ceking berdiri setengah membungkuk. Menurut perkiraanku, mereka berdua adalah sepasang suami-istri.

Hal menarik terjadi ketika kereta terguncang akibat berhenti mendadak. Seluruh penumpang saling berdorongan. Bahkan ada yang tak sengaja bertumpu pada orang tak dikenal. Namun mereka sudah terbiasa dengan suasana seperti ini, dan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar.

Namun beda lagi dengan wanita paruh baya di sebelahku.
Ia tampak geram dan tidak sepenuhnya menerima.

“Heh!” bentaknya tiba-tiba. “Jangan dorong-dorongan dong! Pungung saya sakit!”

Seluruh penumpang yang mendengarnya saling bertatapan. Sebagian dari mereka menggelengkan kepala, sebagian lainnya saling berbisikan.

Belum juga kegaduhan itu mereda, kereta kembali bergerak maju.
Hentakan tak sanggup dihindarkan.
Emosi wanita itu kian kebablasan.

“Pada nggak dengerin ya?!” sorot matanya menajam. Penumpang lain, termasuk aku, mundur setengah langkah. Memberi jarak pada kecanggungan. “Budeg atau bagaimana sih?!” bentaknya lagi.

Tak seorang pun berani mencegah amarahnya, hingga seorang wanita lainnya bangkit dari duduknya dan bertanya, “Ibu pernah naik kereta?”

Ia diam, senyap tiba-tiba bentaknya. Mungkin ingin menjawab ‘belum’, tapi malu.

“Bu, kita semua udah terbiasa berdesakkan. Kalau nggak mau kedorong penumpang lain, silakan Ibu naik ojek.”

“E….. E…. E, jadi Mbak pikir saya lebih pantes naik ojek, hah! Dengerin ya Mbak—“ belum juga ia selesai membentak, pria tua yang kuduga sebagai suaminya (dan ternyata memang benar) merangkul bahunya erat-erat. Ia membisikkan sesuatu di telinganya. Ekspresi wajahnya seperti memohon. Entah apa yang ia katakan, namun ketika kereta hampir tiba di stasiun transit, mereka bersiap-siap turun. Suaminya meminta maaf kepada penumpang lain. Badannya dibungkukan sebagai wujud kesungguhannya. Namun ternyata wanita tua itu menolak. Sebelum kakinya melangkah melewati pintu, ia berkata, “Orang kota kok goblok!”

Aku diam mematung.
Bukan karena marah.
Hanya saja aku membayangkan, bagaimana jika suaminya itu adalah aku.

***

Mungkin di usia muda, kita sanggup bermanisan dengan pasangan. Kita menjahit banyak sekali kata menjadi cerita, prosa, atau puisi tentang cinta. Bisa jadi kita menghabiskan malam bersamanya, hanya dengan saling menatap, tanpa bicara dan berkata-kata. Di usia muda, kita tidak sepenuhnya menjadi kita. Ada beberapa ruang yang sengaja kita sembunyikan demi menjaga harmonisnya sebuah ikatan.

Kita, di usia muda, bisa mengutarakan pujian berulang-berulang tanpa adanya tujuan. Kita senang sekali memuji keelokan pasangan kita hanya untuk meyakinkan bahwa dia memang benar-benar rupawan. Atau tentang rambutnya yang berkibar tersapu angin, dan matanya yang cemerlang, seakan memaksa untuk terus memujinya di saat obrolan sudah kehabisan bahan.

Di usia muda, kita senang sekali berlarian bersama pasangan hanya untuk mengejar sesuatu yang tak bisa digapai. Kita mengejar matahari yang jaraknya jutaan tahun cahaya. Atau menyusuri pantai? Berharap kita dapat menyebranginya tanpa harus menggunakan perahu.

Kita dapat mengemas cinta melalui banyak sekali perandaian. Kita senang sekali melakukan hal-hal berlebihan yang tak dapat diterima akal. Hingga akhirnya gelora itu akan membangkai. Kelak, kita akan menjadi tua, dan membosankan.

Mungkin kamu mendengus sebal, dan tidak sepenuhnya setuju dengan kata ‘membosankan’. Mungkin kamu juga merasa bahwa kelak, di usia tua, kamu tetap akan menjadi manusia yang menyenangkan. Atau setidaknya, lebih menyenangkan dibanding manusia-manusia tua lainnya? Tapi, percayalah, kita semua akan membosankan—pasti membosankan. Hanya porsinya saja yang membedakan.

***

Perubahan fisik adalah perubahan alamiah yang tak bisa dihindari. Aku atau kamu mungkin tak akan pernah lagi mendengar kata pujian mengenai fisik yang rupawan di usia lima puluhan. Tidak ada lagi kulit yang halus dan kencang, atau lekak-liku tubuh memukau, juga rambut hitam lebat-berkilau. Mungkin mustahil bagi kita menghindari perubahan fisik, serta hal lain yang bersifat jasmaniah. Tapi bagaimana mengenai sikap? Kita diberi kemampuan untuk membatasi diri, atau melakukan perbaikan jika memang memungkinkan. Kita memang ditakdirkan menjadi manusia tua yang membosankan, tapi menjadi manusia tua yang menjengkelkan? Sebisa mungkin jangan.

Tentang wanita tua di dalam gerbong kereta, aku teramat kecewa juga iba melihatnya. Kecewa mengetahui perangainya yang kurang santun, dan iba melihat suaminya yang terus-terusan memberikan ketenangan.

Kenapa?
Kenapa ketika tua manusia sulit sekali membatasi dirinya?

***

Kita terbiasa mendengar gojekan tentang ibu-ibu yang mengendarai sepeda motor sesuka hatinya; yang memasang lampu sign ke kanan namun berbelok ke kiri, juga melawan arus jalan, seakan membuktikan bahwa ia adalah manusia kebal hukuman.

Kita juga terbiasa mendengar gojekan tentang hal lain yang mengisyaratkan bahwa manusia akan menjengkelkan ketika mengalami masa penuaan. Mungkin kita terus-terusan tercekok oleh pemahaman itu, hingga sebuah konstruksi realita tercipta dan menimbulkan sebuah tanya: apakah aku akan menjadi manusia tua yang menjengkelkan?

Mungkin jika cukup bijak, kita akan menyadari bahwa pertanyaan itu akan melahirkan pertanyaan lain, sekaligus memberi kesadaran tentang bagaimana menjadi manusia tua yang (tidak terlalu) menjengkelkan. Pertanyaan itu sesederhana: apakah aku akan menjadi manusia tua yang menjengkelkan bagi pasangan dan keturunan?

Hal pertama yang harus kita perhatikan adalah lingkaran keluarga. Jika belum mampu menjadi manusia menyenangkan bagi lingkungan besar, berusahalah menjadi manusia yang memberi kesenangan (juga ketenangan) bagi keluarga. Kamu bisa saja duduk seharian di sofa tanpa harus mengomentari apapun yang dirasa tidak baik. Atau, ketika bosan melandamu, beranjaklah sejenak. Pilih buku kesukaanmu lalu membaca. Ketika anak-anak dan pasanganmu (juga cucumu) sedang berkumpul di ruang yang sama, berusahalah menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. Jika kamu tidak mengerti pembicaraan mereka, maka berdiamlah, cukup berikan mereka senyum. Jika kamu mengerti, maka berbaurlah tanpa harus menunjukan bahwa kamu lebih pandai dibanding mereka.

Kita tidak perlu repot-repot memikirkan lingkungan luar. Itu urusan nanti. Yang terutama adalah lingkungan keluargamu. Sebab lingkaran interaksimu berada di sana; hari-harimu juga dihabiskan di sana. Teruslah berusaha menjadi manusia yang tidak menjengkelkan. Sejak dini; sejak kita muda. Agar ketika menjadi tua, kita akan memahami bahwa kehidupan itu sifatnya dinamis. Pemahaman kita—di usia tua nanti—tidak akan sama dengan pamahaman anak-anak muda di kalanya. Begitulah memang hukum alamnya.

Aku memiliki keyakinan bahwa kadar ‘menjengkelkan’ di dalam tubuh-tua kita dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan. Asalkan kita memiliki tiga bekal utama:

Yaitu kemampuan memahami,
kemampuan mengerti,

dan yang tidak kalah pentingnya, kemampuan berkomunikasi.

2 komentar:

  1. tulisannya bagus. ngingetin gimana soal romansa kalo udah dihadepin realita
    anyway, salam kenal sesama blogger kancut :))

    BalasHapus

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini