Aku dan kereta sudah
akrab sejak tiga tahun lalu. Setiap pagi, ketika mobil berdesakkan di sepanjang
jalan ibukota, aku dan penumpang lain justru berdesakkan di dalam kereta. Tapi
sungguh, tak pernah aku mencelanya. Karena Jakarta memang harus dihadapi dengan
kemampuan menerima, meski luar biasa susahnya.
Sore itu adalah hari
terakhirku di semester lima. Aku pulang membawa perasaan lega karena lelahku
akibat begadang dapat terobati oleh libur panjang. Jadi aku bergegas menuju
stasiun, mengisi saldo kartu, dan menunggu kereta di peron jalur dua.
Kurang dari lima menit
setelah menunggu, kereta datang membawa banyak sekali penumpang.
Aku melangkah masuk dan
berdiri di samping wanita paruh baya. Di sebelahnya, lelaki tua berbadan ceking
berdiri setengah membungkuk. Menurut perkiraanku, mereka berdua adalah sepasang
suami-istri.
Hal menarik terjadi
ketika kereta terguncang akibat berhenti mendadak. Seluruh penumpang saling berdorongan.
Bahkan ada yang tak sengaja bertumpu pada orang tak dikenal. Namun mereka sudah
terbiasa dengan suasana seperti ini, dan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang
wajar.
Namun beda lagi dengan
wanita paruh baya di sebelahku.
Ia tampak geram dan
tidak sepenuhnya menerima.
“Heh!” bentaknya
tiba-tiba. “Jangan dorong-dorongan dong! Pungung saya sakit!”
Seluruh penumpang yang
mendengarnya saling bertatapan. Sebagian dari mereka menggelengkan kepala,
sebagian lainnya saling berbisikan.
Belum juga kegaduhan itu
mereda, kereta kembali bergerak maju.
Hentakan tak sanggup
dihindarkan.
Emosi wanita itu kian
kebablasan.
“Pada nggak dengerin ya?!”
sorot matanya menajam. Penumpang lain, termasuk aku, mundur setengah langkah.
Memberi jarak pada kecanggungan. “Budeg atau bagaimana sih?!” bentaknya lagi.
Tak seorang pun berani
mencegah amarahnya, hingga seorang wanita lainnya bangkit dari duduknya dan bertanya,
“Ibu pernah naik kereta?”
Ia diam, senyap
tiba-tiba bentaknya. Mungkin ingin menjawab ‘belum’, tapi malu.
“Bu, kita semua udah
terbiasa berdesakkan. Kalau nggak mau kedorong penumpang lain, silakan Ibu naik
ojek.”
“E….. E…. E, jadi Mbak
pikir saya lebih pantes naik ojek, hah! Dengerin ya Mbak—“ belum juga ia selesai
membentak, pria tua yang kuduga sebagai suaminya (dan ternyata memang benar)
merangkul bahunya erat-erat. Ia membisikkan sesuatu di telinganya. Ekspresi
wajahnya seperti memohon. Entah apa yang ia katakan, namun ketika kereta hampir
tiba di stasiun transit, mereka bersiap-siap turun. Suaminya meminta maaf
kepada penumpang lain. Badannya dibungkukan sebagai wujud kesungguhannya. Namun
ternyata wanita tua itu menolak. Sebelum kakinya melangkah melewati pintu, ia
berkata, “Orang kota kok goblok!”
Aku diam mematung.
Bukan karena marah.
Hanya saja aku
membayangkan, bagaimana jika suaminya itu
adalah aku.
***
Mungkin di usia muda,
kita sanggup bermanisan dengan pasangan. Kita menjahit banyak sekali kata
menjadi cerita, prosa, atau puisi tentang cinta. Bisa jadi kita menghabiskan
malam bersamanya, hanya dengan saling menatap, tanpa bicara dan berkata-kata.
Di usia muda, kita tidak sepenuhnya menjadi kita. Ada beberapa ruang yang
sengaja kita sembunyikan demi menjaga harmonisnya sebuah ikatan.
Kita, di usia muda, bisa
mengutarakan pujian berulang-berulang tanpa adanya tujuan. Kita senang sekali
memuji keelokan pasangan kita hanya untuk meyakinkan bahwa dia memang
benar-benar rupawan. Atau tentang rambutnya yang berkibar tersapu angin, dan
matanya yang cemerlang, seakan memaksa untuk terus memujinya di saat obrolan
sudah kehabisan bahan.
Di usia muda, kita
senang sekali berlarian bersama pasangan hanya untuk mengejar sesuatu yang tak
bisa digapai. Kita mengejar matahari yang jaraknya jutaan tahun cahaya. Atau
menyusuri pantai? Berharap kita dapat menyebranginya tanpa harus menggunakan
perahu.
Kita dapat mengemas
cinta melalui banyak sekali perandaian. Kita senang sekali melakukan hal-hal
berlebihan yang tak dapat diterima akal. Hingga akhirnya gelora itu akan
membangkai. Kelak, kita akan menjadi tua, dan membosankan.
Mungkin kamu mendengus
sebal, dan tidak sepenuhnya setuju dengan kata ‘membosankan’. Mungkin kamu juga
merasa bahwa kelak, di usia tua, kamu tetap akan menjadi manusia yang
menyenangkan. Atau setidaknya, lebih menyenangkan dibanding manusia-manusia tua
lainnya? Tapi, percayalah, kita semua akan membosankan—pasti membosankan. Hanya
porsinya saja yang membedakan.
***
Perubahan fisik adalah perubahan
alamiah yang tak bisa dihindari. Aku atau kamu mungkin tak akan pernah lagi
mendengar kata pujian mengenai fisik yang rupawan di usia lima puluhan. Tidak
ada lagi kulit yang halus dan kencang, atau lekak-liku tubuh memukau, juga
rambut hitam lebat-berkilau. Mungkin mustahil bagi kita menghindari perubahan
fisik, serta hal lain yang bersifat jasmaniah. Tapi bagaimana mengenai sikap?
Kita diberi kemampuan untuk membatasi diri, atau melakukan perbaikan jika
memang memungkinkan. Kita memang ditakdirkan menjadi manusia tua yang
membosankan, tapi menjadi manusia tua yang menjengkelkan? Sebisa mungkin
jangan.
Tentang wanita tua di
dalam gerbong kereta, aku teramat kecewa juga iba melihatnya. Kecewa mengetahui
perangainya yang kurang santun, dan iba melihat suaminya yang terus-terusan
memberikan ketenangan.
Kenapa?
Kenapa ketika tua manusia
sulit sekali membatasi dirinya?
***
Kita terbiasa mendengar
gojekan tentang ibu-ibu yang mengendarai sepeda motor sesuka hatinya; yang memasang
lampu sign ke kanan namun berbelok ke kiri, juga melawan arus jalan, seakan
membuktikan bahwa ia adalah manusia kebal hukuman.
Kita juga terbiasa
mendengar gojekan tentang hal lain yang mengisyaratkan bahwa manusia akan
menjengkelkan ketika mengalami masa penuaan. Mungkin kita terus-terusan
tercekok oleh pemahaman itu, hingga sebuah konstruksi realita tercipta dan
menimbulkan sebuah tanya: apakah aku akan
menjadi manusia tua yang menjengkelkan?
Mungkin jika cukup
bijak, kita akan menyadari bahwa pertanyaan itu akan melahirkan pertanyaan lain,
sekaligus memberi kesadaran tentang bagaimana menjadi manusia tua yang (tidak
terlalu) menjengkelkan. Pertanyaan itu sesederhana: apakah aku akan menjadi manusia tua yang menjengkelkan bagi pasangan
dan keturunan?
Hal pertama yang harus
kita perhatikan adalah lingkaran keluarga. Jika belum mampu menjadi manusia
menyenangkan bagi lingkungan besar, berusahalah menjadi manusia yang memberi
kesenangan (juga ketenangan) bagi keluarga. Kamu bisa saja duduk seharian di
sofa tanpa harus mengomentari apapun yang dirasa tidak baik. Atau, ketika bosan
melandamu, beranjaklah sejenak. Pilih buku kesukaanmu lalu membaca. Ketika anak-anak
dan pasanganmu (juga cucumu) sedang berkumpul di ruang yang sama, berusahalah
menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. Jika kamu tidak mengerti pembicaraan
mereka, maka berdiamlah, cukup berikan mereka senyum. Jika kamu mengerti, maka
berbaurlah tanpa harus menunjukan bahwa kamu lebih pandai dibanding mereka.
Kita tidak perlu
repot-repot memikirkan lingkungan luar. Itu urusan nanti. Yang terutama adalah
lingkungan keluargamu. Sebab lingkaran interaksimu berada di sana; hari-harimu
juga dihabiskan di sana. Teruslah berusaha menjadi manusia yang tidak menjengkelkan.
Sejak dini; sejak kita muda. Agar ketika menjadi tua, kita akan memahami bahwa
kehidupan itu sifatnya dinamis. Pemahaman kita—di usia tua nanti—tidak akan
sama dengan pamahaman anak-anak muda di kalanya. Begitulah memang hukum alamnya.
Aku memiliki keyakinan
bahwa kadar ‘menjengkelkan’ di dalam tubuh-tua kita dapat dikurangi, atau
bahkan dihilangkan. Asalkan kita memiliki tiga bekal utama:
Yaitu kemampuan
memahami,
kemampuan mengerti,
dan yang tidak kalah
pentingnya, kemampuan berkomunikasi.
Duh, keren Han :"")
BalasHapustulisannya bagus. ngingetin gimana soal romansa kalo udah dihadepin realita
BalasHapusanyway, salam kenal sesama blogger kancut :))