Belakangan ini hidup
serba diukur menggunakan politik. Mau berteman, harus dengan yang sama. Beda
jagoan politik, kita dimusuhi. Mau diam tak peduli, dituduh tidak punya
pendirian. Hidup jadi serba bersebrangan.
Pilkada Jakarta hajat
paling gila. Pernah suatu hari saya makan bersama teman-teman di kedai bakso
pinggir jalan. Obrolan kita penuh canda, sebelum akhirnya mereka bicara
politik. Saya tak acuh, mereka penasaran. “Bagaimana tanggapannya, Han?” Saya
memberi tanggapan malah dituduh yang bukan-bukan. Hari berikutnya, di tengah
suasana yang sama, saya tetap tak acuh. Kali ini dengan penekanan: apapun yang
mereka tanyakan, saya tetap diam. Langkah ini juga keliru, saya dituduh apatis.
Manusia tanpa pendirian.
Lalu, saya harus apa?
Menancapkan garpu ke
mata saya?!?!
Reaksi di media sosial
juga sama—semua serba saling menyudutkan. Pendukung A merasa pilihannya yang
terbaik, siapapun yang tidak sama dengannya adalah sampah. Pendukung B tidak
terima, mereka balas hujatan dengan hujatan lain. Ibarat perkelahian: saling
bergantian menyerang hanya akan melukai keduanya.
Dahulu sekali, sewaktu
Pilkada masih dalam suasana riuh, saya muak setengah mati. Tiap kali pulang
berkegiatan dan berusaha mencari ketenangan di media sosial, yang saya temukan
justru berita yang ntah apa. Belum lagi bumbu dalam caption yang menjadikannya pemantik amarah, membuat saya
geleng-geleng kepala, hingga harus menghapus satu akun media sosial: Twitter.
Meskipun saya juga sadar, Facebook tak kalah mengerikannya.
Sekarang Pilkada Jakarta
telah usai. Tapi bisingnya belum juga reda. Masih banyak yang tega menghina,
menghujat sampai kesetanan. Bedanya, sekarang saya lebih terbiasa. Sudah tidak
muak lagi. Baca satu-dua komentar, scrolling,
baca lagi satu-dua komentar, tahan nafas, tertawa dulu 5 detik, kemudian lanjut
membaca, tertawa lagi. Satu hal yang lama-lama saya pahami: di dunia ini, ada
yang lebih lucu dari sekedar lawak atau guyon. Yaitu gagasan orang-orang marah.
Mereka adalah orang yang
mendukung jagoan politiknya tanpa data yang jelas. Mendukung dengan semangat
menjatuhkan lawan. Berita apapun, selagi menguntungkan pihak mereka, akan
dipercaya sebagai kabar benar. Bagikan dulu, perkara benar atau tidak soal
nanti. Bagikan lagi, perkara ada yang sakit hati? Ah, siapa peduli.
Andaikan disuruh jujur,
saya lebih senang membaca status media sosial yang isinya curhat menye-menye.
Hari ini ketemu siapa. Hari ini makan bareng siapa. Hari ini nilai sekolah
berapa. Curhatan seperti ini, meskipun kadang kelewatan, tidak pernah melukai
orang lain. karena apa yang ia sampaikan adalah refleksi dari hidup yang ia
jalani, bukan kepura-puraan, atau asal mengiyakan pendapat orang.
Tapi kalau dipaksa lebih
jujur lagi, status bernuansa edukatif jelas lebih bernilai. Buat saya, laman
profil adalah ruang bercerita. Tulislah sesuatu yang berguna bagi orang lain,
maka profilmu akan mendapat kunjungan dari mereka yang senang. Mereka yang
benar-benar ingin membaca buah pikirmu.
Saya kenal beberapa
orang yang lebur dalam hobinya. Mereka rutin dan komitmen membagikan apa yang
tampak menjadi bakatnya. Ia bagikan sketsa, karena ia senang melukis. Ia
bagikan sajak, karena ia senang menulis. Atau informasi soal goes sepeda, mendaki
gunung, gathering komikus, klub IT, forum bahasa… aduh, yang seperti ini justru
sedap disimak. Bagikanlah sesuatu yang melambangkan ‘potret’ dirimu—tentang
hobi, minat, atau kegiatan harian. Boleh jadi kita tidak sadar, tapi sisi baik
dari membagikan hobi/minat ialah terbentuknya persona. Kamu boleh dilupa rupa wajahnya,
ataupun namanya, tapi bakat? Siapa yang berani melupakan?
Memang sulit sekali
berikhtiar menulis sesuatu yang sesuai potret diri kita. Orang yang senang
melukis tidak selalu punya waktu. Giliran ada waktu, mood kurang baik. Akhirnya
scrolling timeline, menemukan status
soal politik, merasa terusik, dan ikut memberi komentar.
Rasa ingin berkomentar itu
manusiawi. Semua orang pasti memilikinya. Sebagian bisa mengendalikan, sebagian
lainnya kerasukan setan. Masalahnya yang terjadi belakangan ini adalah: semangat
berkomentar yang tinggi tak diimbangi dengan semangat membaca yang juga tinggi.
Akhirnya asal bicara, suasana mengeruh, dan perselisihan tinggal menunggu
waktu.
Sedih rasanya melihat
media sosial justru menjamur di negara yang marah.
Maka mari sama-sama kita
mengerti dan coba letakkan diri, untuk tidak asal menulis atau membagi sesuatu
yang (sekiranya) memancing perselisihan. Selalu ingat baik-baik: setiap
perkataan pasti memiliki dampak. Boleh jadi kamu merasa apa yang kamu tulis
tidak menyakiti orang lain. Tapi adakah di dunia ini yang bersifat absolut?
Kebenaran kadang hanya milik satu orang. Apa yang kamu anggap benar belum tentu
orang lain sependapat. Jadi biarlah urusan sensitif seperti politik ini berada
di lingkaran semestinya: dalam forum diskusi, kelompok politik, atau organisasi
partai. Ketika sedang reuni bersama teman sekolah dan membahas isu politik? Ah,
mungkin kamu ingin dinilai pintar.
Jadi apakah bicara
politik membuat kita terlihat menarik?
Saya ingat kelakar sepupu
saya beberapa waktu lalu: “Seumur-umur, Han, belum pernah aku pacaran. Usia masuk
dua-tiga. Kalau Tuhan memberiku kebebasan memilih jodoh, jangan sampai aku
dapat pasangan yang hidupnya melulu soal politik. Takut didominasi.”
Mungkin sepupu saya ada
benarnya. Dalam dunia politik, kita hanya dihadapkan pada dua kutub
bersebrangan: ia yang menang, dan ia yang kalah. Itulah mengapa politik selalu
mengedepankan ambisi dan dominasi. Dalam hidup bersosial—atau yang tersempit:
keluarga—politik bisa saja membunuh. Pernah lihat bagaimana politisi menggempur
lawan bicaranya dengan mulut menganga lebar, bicara meledak-ledak hanya untuk
membuktikan bahwa ia (dan partainya) benar? Apakah kamu ingin hal ini terjadi juga
pada keluarga atau orang sekitarmu? Saya tidak tahu, tapi sepupu saya sudah memberi jawaban—meski hanya
melalui kelakar.
Begitu baca judulnya, saya langsung jawab dalam hati, "YO GAK LAH!"
BalasHapusTak rasa semua ini ada kepentingan tersendiri ini. Pasti ada yang ngompor-ngompori, dan bagi yang minim pengetahuan & mudah kebawa, ya pasti kena apinya. Karena, seharusnya kan setelah pilkada DKI harusnya kan makin surut hal-hal seperti itu.
Sekarang yang penting yaapa caranya kita gak kebawa ikut2an mereka. Bener gak? :D