7 Apr 2018

Benarkah Bicara Politik Membuat Kita Terlihat Menarik?

Belakangan ini hidup serba diukur menggunakan politik. Mau berteman, harus dengan yang sama. Beda jagoan politik, kita dimusuhi. Mau diam tak peduli, dituduh tidak punya pendirian. Hidup jadi serba bersebrangan.

Pilkada Jakarta hajat paling gila. Pernah suatu hari saya makan bersama teman-teman di kedai bakso pinggir jalan. Obrolan kita penuh canda, sebelum akhirnya mereka bicara politik. Saya tak acuh, mereka penasaran. “Bagaimana tanggapannya, Han?” Saya memberi tanggapan malah dituduh yang bukan-bukan. Hari berikutnya, di tengah suasana yang sama, saya tetap tak acuh. Kali ini dengan penekanan: apapun yang mereka tanyakan, saya tetap diam. Langkah ini juga keliru, saya dituduh apatis. Manusia tanpa pendirian.

Lalu, saya harus apa?
Menancapkan garpu ke mata saya?!?!

Reaksi di media sosial juga sama—semua serba saling menyudutkan. Pendukung A merasa pilihannya yang terbaik, siapapun yang tidak sama dengannya adalah sampah. Pendukung B tidak terima, mereka balas hujatan dengan hujatan lain. Ibarat perkelahian: saling bergantian menyerang hanya akan melukai keduanya.
Dahulu sekali, sewaktu Pilkada masih dalam suasana riuh, saya muak setengah mati. Tiap kali pulang berkegiatan dan berusaha mencari ketenangan di media sosial, yang saya temukan justru berita yang ntah apa. Belum lagi bumbu dalam caption yang menjadikannya pemantik amarah, membuat saya geleng-geleng kepala, hingga harus menghapus satu akun media sosial: Twitter. Meskipun saya juga sadar, Facebook tak kalah mengerikannya.

Sekarang Pilkada Jakarta telah usai. Tapi bisingnya belum juga reda. Masih banyak yang tega menghina, menghujat sampai kesetanan. Bedanya, sekarang saya lebih terbiasa. Sudah tidak muak lagi. Baca satu-dua komentar, scrolling, baca lagi satu-dua komentar, tahan nafas, tertawa dulu 5 detik, kemudian lanjut membaca, tertawa lagi. Satu hal yang lama-lama saya pahami: di dunia ini, ada yang lebih lucu dari sekedar lawak atau guyon. Yaitu gagasan orang-orang marah.

Mereka adalah orang yang mendukung jagoan politiknya tanpa data yang jelas. Mendukung dengan semangat menjatuhkan lawan. Berita apapun, selagi menguntungkan pihak mereka, akan dipercaya sebagai kabar benar. Bagikan dulu, perkara benar atau tidak soal nanti. Bagikan lagi, perkara ada yang sakit hati? Ah, siapa peduli.


Andaikan disuruh jujur, saya lebih senang membaca status media sosial yang isinya curhat menye-menye. Hari ini ketemu siapa. Hari ini makan bareng siapa. Hari ini nilai sekolah berapa. Curhatan seperti ini, meskipun kadang kelewatan, tidak pernah melukai orang lain. karena apa yang ia sampaikan adalah refleksi dari hidup yang ia jalani, bukan kepura-puraan, atau asal mengiyakan pendapat orang.

Tapi kalau dipaksa lebih jujur lagi, status bernuansa edukatif jelas lebih bernilai. Buat saya, laman profil adalah ruang bercerita. Tulislah sesuatu yang berguna bagi orang lain, maka profilmu akan mendapat kunjungan dari mereka yang senang. Mereka yang benar-benar ingin membaca buah pikirmu.

Saya kenal beberapa orang yang lebur dalam hobinya. Mereka rutin dan komitmen membagikan apa yang tampak menjadi bakatnya. Ia bagikan sketsa, karena ia senang melukis. Ia bagikan sajak, karena ia senang menulis. Atau informasi soal goes sepeda, mendaki gunung, gathering komikus, klub IT, forum bahasa… aduh, yang seperti ini justru sedap disimak. Bagikanlah sesuatu yang melambangkan ‘potret’ dirimu—tentang hobi, minat, atau kegiatan harian. Boleh jadi kita tidak sadar, tapi sisi baik dari membagikan hobi/minat ialah terbentuknya persona. Kamu boleh dilupa rupa wajahnya, ataupun namanya, tapi bakat? Siapa yang berani melupakan?

Memang sulit sekali berikhtiar menulis sesuatu yang sesuai potret diri kita. Orang yang senang melukis tidak selalu punya waktu. Giliran ada waktu, mood kurang baik. Akhirnya scrolling timeline, menemukan status soal politik, merasa terusik, dan ikut memberi komentar.

Rasa ingin berkomentar itu manusiawi. Semua orang pasti memilikinya. Sebagian bisa mengendalikan, sebagian lainnya kerasukan setan. Masalahnya yang terjadi belakangan ini adalah: semangat berkomentar yang tinggi tak diimbangi dengan semangat membaca yang juga tinggi. Akhirnya asal bicara, suasana mengeruh, dan perselisihan tinggal menunggu waktu.
Sedih rasanya melihat media sosial justru menjamur di negara yang marah.

Maka mari sama-sama kita mengerti dan coba letakkan diri, untuk tidak asal menulis atau membagi sesuatu yang (sekiranya) memancing perselisihan. Selalu ingat baik-baik: setiap perkataan pasti memiliki dampak. Boleh jadi kamu merasa apa yang kamu tulis tidak menyakiti orang lain. Tapi adakah di dunia ini yang bersifat absolut? Kebenaran kadang hanya milik satu orang. Apa yang kamu anggap benar belum tentu orang lain sependapat. Jadi biarlah urusan sensitif seperti politik ini berada di lingkaran semestinya: dalam forum diskusi, kelompok politik, atau organisasi partai. Ketika sedang reuni bersama teman sekolah dan membahas isu politik? Ah, mungkin kamu ingin dinilai pintar.

Jadi apakah bicara politik membuat kita terlihat menarik?
Saya ingat kelakar sepupu saya beberapa waktu lalu: “Seumur-umur, Han, belum pernah aku pacaran. Usia masuk dua-tiga. Kalau Tuhan memberiku kebebasan memilih jodoh, jangan sampai aku dapat pasangan yang hidupnya melulu soal politik. Takut didominasi.”


Mungkin sepupu saya ada benarnya. Dalam dunia politik, kita hanya dihadapkan pada dua kutub bersebrangan: ia yang menang, dan ia yang kalah. Itulah mengapa politik selalu mengedepankan ambisi dan dominasi. Dalam hidup bersosial—atau yang tersempit: keluarga—politik bisa saja membunuh. Pernah lihat bagaimana politisi menggempur lawan bicaranya dengan mulut menganga lebar, bicara meledak-ledak hanya untuk membuktikan bahwa ia (dan partainya) benar? Apakah kamu ingin hal ini terjadi juga pada keluarga atau orang sekitarmu? Saya tidak tahu, tapi sepupu saya sudah memberi jawaban—meski hanya melalui kelakar.

1 komentar:

  1. Begitu baca judulnya, saya langsung jawab dalam hati, "YO GAK LAH!"

    Tak rasa semua ini ada kepentingan tersendiri ini. Pasti ada yang ngompor-ngompori, dan bagi yang minim pengetahuan & mudah kebawa, ya pasti kena apinya. Karena, seharusnya kan setelah pilkada DKI harusnya kan makin surut hal-hal seperti itu.

    Sekarang yang penting yaapa caranya kita gak kebawa ikut2an mereka. Bener gak? :D

    BalasHapus

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini