13 Feb 2015

Untuk Kecantikan Abadiku

Ibuku pernah bilang, “Kalo kamu jatuh cinta, tulis sebuah surat. Kalo kamu memendam cinta, simpan sebuah surat.

Awalnya aku kurang paham dengan ucapan ibu. Kata ‘simpan’ di sini memiliki arti yang ganda; pertama, simpan bisa berarti disembunyikan; kedua, simpan bisa berarti kemunculan-yang-sedikit-ditunda.

Sampai pada akhirnya ibu melanjutkan, “Simpan, demi kebaikanmu kelak.

Simpan, demi kebaikanmu kelak. Yeah! Itu tandanya ‘simpan’ memiliki arti yang cukup baik. Eufemisme dari kata harapan. Maksudku, suatu saat nanti, surat ini akan dibuka dan dibaca oleh seseorang yang namanya tercantum dalam kalimat yang kita rangkai tersebut. Jadi aku menatap wajah ibu, lalu berkata dengan suara parau, “Bu, aku mau nulis surat untuk calon istriku.”

Ibu menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Silahkan,” katanya. “Jangan membuat calon istrimu menunggu.”

Aku mengangguk—berpaling dari wajah ibu, kemudian mengambil sebuah pena, dan selembar kertas putih bergaris. Lalu, pada detik itu juga, aku mulai menulis sebuah surat.




Untukmu, kecantikan abadiku.
Kamu adalah wanita yang pertama kali membuka surat ini—menyobeknya di bagian atas amplop. Tapi taukah kamu? Amplop yang sudah disobek, selamanya tidak akan pernah menyatu kembali. Bahkan dengan cairan lengket sekuat apapun, amplop yang sudah sobek akan tetap menjadi amplop yang sudah sobek. Tidak akan pernah berubah. Jadi, tugasmu hanya satu, kekasih: buang amplop bekas itu, dan ambil secarik kertas yang tersembunyi di baliknya.

Jangan tersenyum, ambil saja, lalu bacakan.

Bagus.

Jika kamu sudah berada pada bagian ini, tandanya kamu harus menangis, karena tulisanku akan menyentuh sebagian hatimu. Tidak perlu takut. Jika ingin menangis, lakukan saja. Kecantikanmu tak akan pudar karena air matamu. Yang harus kamu tau, Istriku. Kamu selalu cantik dalam berbagai hal. Sungguh.

Istriku yang kucinta, aku belum mengenalmu ketika menulis surat ini. Bahkan Allah belum memberiku inisial namamu. Tapi ketika aku bertanya ‘mengapa’, Allah menjawabnya dengan rangkaian nama di Lauh Mahfuz. Aku tidak tau apa yang Allah tulis pada saat itu. Tapi kini, aku mengetahui jika Allah merangkai sebuah kata dengan sangat cemerlang—beberapa huruf konsonan dan vocal yang dileburkan menjadi satu, dan membentuk sebuah nama yang indah; nama seorang wanita. Dan kini, wanita itu sedang menatap surat ini dengan tatapan tajam, bertanya-tanya apa maksud dari perkataanku. Dan setelah menyadari, ia akan tersenyum dengan manis. Beberapa detik kemudian, dan…

… wanita itu masih tersenyum.

Kemudian tertawa.

Subhanallah. Aku mengagumi caramu tersenyum dan tertawa—meskipun aku mengagumi semua hal yang ada pada dirimu—tapi itu adalah dua hal yang menjadi alasan utama mengapa aku memilihmu.

Istriku yang manis, kini aku sudah halal bagimu. Izinkan aku merengkuh tubuhmu—membelai keningmu dengan sentuhan tulus seorang suami. Dan izinkan aku untuk berkhayal bersamamu di malam pernikahan kita. Menghayal tentang berbagai hal. Mulai dari mimpi kita, sampai ke kisah anak-anak kita nanti.

Manisku, pada suatu malam, aku akan bertanya padamu tentang masa depan. Bukan suatu hal yang terlalu tinggi; sebatas kewajaran seorang pengantin. Aku ingin bertanya padamu, jika kelak kita memiliki anak, apa nama yang akan kau berikan padanya?

Aku tahu, kamu masih bingung menentukan sebuah nama. Tapi kamu jangan khawatir, istriku, kamu memiliki pasangan yang bisa diandalkan. Bagaimana jika kita membahas ini bersama? Aku berjanji akan memberikan gagasan sebaik mungkin. Jika tidak, kamu boleh menghukumku dengan berbagai cara, seperti: mengacak-acak rambutku dan menyoret seluruh wajahku dengan spidol berwarna ungu. Di waktu subuh, saat aku masih terbaring di atas ranjang kita.

Istriku, besok pagi adalah hari pertamamu memasak untukku. Aku tidak pernah meragukan keahlianmu dalam hal ini, karena kamu adalah koki terbaik yang pernah kukenal sepanjang hidupku.

Dan kelak—beberapa hari setelah pernikahan kita, kamu akan bertanya, “Suamiku, apa yang membuat kamu menyukai makananku?” dan dengan tulus, aku akan menjawab, “Tanganmu, istriku. Karena semua bahan makanan yang kamu buat, sebelumnya tersentuh oleh tanganmu.”

Oh, Istriku yang cantik, Allah telah memilihmu sebagai wanitaku; teman masa dewasaku. Aku berjanji pada alam semesta untuk menghidupimu dengan layak. Membesarkan anak kita, hingga ia menjadi seseorang yang disegani oleh kawannya. Dan kau tau, cantik? Pada saat itu, kita sudah beranjak tua. Kerutan di kening kita sudah terlihat dengan jelas. Beberapa bercak hitam juga mulai menguasai seluruh pipi kita. Tapi kau harus tau, istrikku, kau masih sama seperti hari ini—masih memancarkan nuansa cerah dari wajahmu. Karena sungguh, kecantikan wajahmu se-abadi cinta kita berdua.

Beberapa puluh tahun kemudian, kita berdua akan berada pada fase akhir; aku dengan kelemahan tubuhku, dan kamu dengan kelemahan tubuhmu. Kita berada pada fase yang sama, tapi pesona yang berbeda. Karena kuulangi sekali lagi, kau akan menjadi nenek yang paling cantik di dalam hidupku—seorang nenek yang saat ini sedang meneteskan air matanya di atas selembar kertas, lalu menyekanya dengan punggung tangan.

Sudah, jangan menangis. Umurmu masih muda, masa tuamu masih jauh terbentang di ujung sana.

Cintaku, tidak ada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pesona abadi seorang wanita. Tapi bagiku, kamu adalah kecantikan abadiku—kerlingan cahaya harapanku. Gapailah tanganku, kekasih. Kita akan beranjak tua bersama. Kita akan duduk bersebelahan di masa tua kita—membicarakan kebahagiaan kita di masa muda.

Anak-anak dan cucu-cucu kita, akan berada di sisi kita. Dan aku akan menjelaskan kepada mereka, bagaimana cara mencintai seorang wanita cantik dengan benar.

Sekali lagi, aku mencintaimu, istrikku. Rengkuhlah tubuhku, benamkan wajahmu di pundakku, dan rasakan, betapa Allah maha indah—mempertemukan sepasang sejoli, yang sama-sama memiliki bakat untuk tumbuh dengan setia.

Tutuplah surat ini dengan sekali lipatan, cantikku. Kemudian simpan di tempat yang menurutmu aman. Jadikan kertas ini sebagai awal dan nostalgia kita di masa tua nanti. Terima kasih telah membacanya. Terima kasih telah mendengar harapan masa remajaku.




Bekasi, 13 Februari 2015.
Dariku, suami terbaikmu.


8 komentar:

  1. KOK KAMU NGGAK PERNAH BILANG SIH KALAU KAMU PUNYA BAKAT NULIS SURAT CINTA, HAN......... :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, lupakan tentang suratku. Karena, secara mengejutkan, blogku dikomen sama maestro penulis surat!

      Hapus
  2. Keren, gue ngerasain "jiwa"-nya cium ia kelak jika nanti ia tidak menangis membaca ini.

    BalasHapus
  3. ah sosweet bangeeet ,, andai entar ada yang kasih surat begituuu :D

    BalasHapus
  4. Suratnya bagus. Salam untuk istrimu kelak, dia wanita yang beruntung karena dikirimi surat semanis ini:')

    BalasHapus

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini