21 Jul 2015

BAHASA SIALAN!

Orang bilang, laki-laki cuma butuh waktu 4 detik untuk jatuh cinta. Awalnya, gue gak setuju. Sampe sekitar tahun 2009, pandangan itu perlahan berubah.
Semua berawal ketika gue duduk di bangku SMP. Waktu itu, sifat gue nggak jauh beda dari sekarang; pendiem, tertutup, introvert, dan penyendiri. Makanya, tiap kali duduk, gue selalu milih deretan kursi paling ujung. Bener-bener ujung. Biar nggak ada temen lain yang ganggu konsentrasi belajar gue.
“Boleh duduk bareng nggak?” salah satu murid berbadan besar menawarkan diri. Seragamnya rapi, seolah-olah seragam sekolah memiliki tingkat keformalan paling tinggi di jagad raya. “Kok diem aja? Jawab dong.”
Gue geleng-geleng, karena ngerasa anak ini kurang asik diajak diskusi.
“Maap,” kata gue. “Udah ada yang ngisi.”
“Siapa?” tanya dia sambil celingukan kiri-kanan.
“Itu,” gue nunjuk asal ke salah satu murid yang lagi asik berdiri di ambang pintu. “Sama dia—yang berdiri di sana.”
Si gendut maju dua langkah ke belakang, wajahnya berubah merah. Dan, dengan satu kali hentakan kaki, dia ngelempar tas punggungnya ke meja sambil teriak, “Belagu lo, cupu!”
Gue dikatain cupu.
Tapi nggak marah.
Karena………...
yah,
gue emang cupu.
SO WHAT?!

…….

Balik lagi ke topik.
Salah seorang murid yang gue tunjuk asal tadi ternyata beneran duduk di samping gue. Dan hebatnya lagi, ternyata dia anaknya asik; selalu nyambung tiap diajak bercanda.
“Gue Farhan,” kata gue seraya melayangkan tangan ke hadapan dia.
Dia nyambut tangan gue dengan senyum bersahabat, “Gue Putra.”
Dan kita akrab dalam hitungan menit.
Beberapa menit setelah kita saling kenal, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruang kelas. Beliau nggak pake jilbab, rambut pendeknya menggantung dengan sisiran satu arah—macem rambut POLWAN yang kita kenal sampe sekarang.
“Selamat pagi,” dia berdiri di depan papan tulis, suaranya berat, getarannya seperti perpaduan antara wanita dan lelaki usia remaja. “Saya Bu Maryani, wali kelas kalian.”
Semua murid di kelas memberi hormat kepada Bu Maryani.
“Sekarang,” kata Bu Mar. “Perkenalkan diri kalian di depan kelas.”
Perkenalan itu dimulai dari seorang laki-laki berbadan kurus. Dia maju ke depan kelas dengan perasaan grogi. Kakinya bergetar, seolah-olah dia lagi berdiri di hadapan jendral perang abad 16. “Uhm, nganu, nama saya…… Koko.”
“Koko?” Bu Mar heran. “Macem nama baju aja.”
“Maksud saya, Eko, Bu.”
“Hmm…..” Bu Mar manggut-manggut dan memersilahkannya duduk.
Kemudian perkenalan itu berlanjut satu demi satu. Sampe pada perkenalan ke delapan atau sembilan—gue lupa, ada salah satu siswi yang maju ke depan kelas dengan perasaan malu; pandangannya tertuju ke arah lantai.
“Hai,” kata siswi itu sambil melilit ikal-ikal rambutnya pake telunjuk. “Nama saya—“
Gue nyondongin badan ke depan dan memasang pendengaran sebaik mungkin.
“Nama saya Viola,” matanya kemudian diarahkan ke depan, dan tampak binar-binar cahaya terpancar dari bola matanya. “Terima kasih.” Dia menutup perkenalannya dengan menggigit bibir bawahnya. Seakan-akan rasa malu itu masih melekat di jiwanya.

…..

Menit berganti menit. Hari berganti hari.
Perkenalan gue dengan Viola perlahan menemui titik terang. Kita selalu ada di kelompok belajar yang sama. Dan hebatnya lagi, ternyata dia termasuk anak yang cerdas.
Sebagai bukti, di semester pertama, dia berhasil dapet rangking satu dengan rata-rata nilai 9,2. Kalau bukan karena itu, gue nggak mungkin nyebut dia sebagai anak cerdas.
Kecerdasan dia berlanjut di semester dua. Hampir setiap ujian harian, dia selalu dapet nilai tertinggi. Bahkan, pernah suatu ketika, pas ujian matematika, dia jadi satu-satunya murid yang dapet nilai sempurna dan satu-satunya murid yang nggak ikut ujian remedial! Gila, ajaib. Sebenernya dia ini siapa, sih?
Seperti cowok pada umumnya, gue nyari tau kebeneran tentang dia ke temen-temen deketnya. Dan, beberapa fakta yang gue dapet adalah:
Pertama, dia anak pertama dari dua bersaudara.
Kedua, dia termasuk anak shalihah, karena selalu dateng ke pengajian harian.
Ketiga—sekaligus yang terakhir—menjadi kenyataan yang paling pahit untuk didenger. Karena ternyata, dia udah punya pacar!
Dan, pacarnya ganteng!
Tsunami Aceh!
Akhirnya, karena ngerasa cemburu, gue cari tahu siapa cowoknya.
Berhari-hari gue cari informasi tentang dia—muter-muter daerah rumahnya, nanya ke sahabatnya, baca gerak-gerik tubuhnya, dan lainnya. Sampe akhirnya, gue gregetan buat ngomong langsung ke dia. “Viola, uhm, kenalin cowoknya ke gue dong.”
Viola sontak kaget. Matanya melolot, mulutnya nganga lebar. Tapi, cantik.
“PACAR?!” katanya, nggak percaya. “Gue belum punya pacar.”
Gue narik napas dalem-dalem. “Seriusan? Terus, Dio itu siapa?”
“Dio?” dia makin kaget, makin bingung, makin aneh, tapi tetep cantik. “Lo kok tau Dio sih, Han?”
“Dari temen lo. Katanya, lo selalu ketemu Dio tiap pulang sekolah, ya?”
Perlahan Viola mulai ketawa. “Dio itu adek sepupu gue, dia sekolah di SMP 22 Bekasi. Lo tau kan? Itu lho, SMP di seberang jalan.”
Mampus, gue tengsin.
“Terus, apa tujuan lo nanya ini ke gue, Han?” dia miringin kepalanya. Dan, demi Tuhan penguasa alam, dia cantik. Bener-bener cantik. “Huh?”
“Nggak apa-apa,” kata gue sok tenang, padahal dalem hati lagi sibuk nyari alasan. “Eh, nganu. Gue ke ruang 8.6 dulu, ya. Bye.”
“Han?” dia narik pundak gue. “Ini kan ruang 8.6.”
Mampus, gue tengsin lagi.

……

Pertemuan dengan Viola selalu dilewati dengan rasa malu. Tiap ketemu dia, keringetan. Tiap ketemu dia, keringetan. Gitu terus, sampe Lionel Messi pindah dari Barcelona!
“Ngeliatin Viola mulu, Han?” Putra nyikut pinggang gue berkali-kali. “Naksir ya? Bilang aja kali.”
“Uhm, nganu, Put……”
“Udah, ngaku aja,” kata Putra. “Semua cowok di kelas ini naksir kok sama dia.”
“Termasuk lo?”
“Jelas, dong.”
Gue nelen ludah sebanyak mungkin. Ngerasa kalau mulai detik ini hubungan baik gue sama Putra bakal rusak.
Semua emang belum kebukti, tapi liat aja nanti.
Gue berani taruhan! Berapa pun!
Balik lagi soal Viola, menurut gue, wajar-wajar aja kalau semua cowok di kelas naksir sama dia. Karena, selain punya kepribadian bagus, Viola juga anaknya cantik—postur tubuhnya normal, rambutnya hitam panjang (kadang kalau udah mulai siang, suka dia iket pake kunciran warna biru), kulitnya putih bersih, matanya belo, alisnya tebel, pokoknya dari ujung kaki ke ujung kepala, dia nggak punya cacat sedikit pun!
Eh,
Huh,
Ini gue lagi ngomongin Viola, kok.
Bukan Raisa.
Apalagi Pevita Pearce.
Sumpah.

……

Beberapa bulan setelahnya, prediksi tentang retaknya persahabatan gue sama Putra mulai terbukti.
“Put,” kata gue. “Kok pindah, sih?”
“Di situ panas.” Jawab dia, ketus.
“Apa bedanya di sini sama situ? Kan sama-sama jauh dari kipas angin.”
“Panas hati, bukan panas kulit.”
Mendadak hening.
Terlepas soal perselisihan gue sama Putra, gue baru dapet kabar, kalau hari ini, Viola baru aja ditembak sama tiga cowok berbeda. Ini serius, nggak bercanda. Dua dari angkatan yang sama, sedangkan satu dari angkatan di bawah kita—atau adek kelas.
Denger kabar itu, gue langsung minder.
Tiap hari gue pandangin wajah Viola dari samping, kadang kalau udah mulai sore, pantulan cahaya matahari membiaskan nuansa jingga di wajahnya. Dia cantik, bahkan dalam balutan siluet pun, dia tetep cantik.
Tapi herannya, rasa kagum yang gue punya seakan-akan menuntun gue ke arah minder.
Tiap kali liat wajahnya, gue selalu ngaca di jendela kelas, “Kita nggak imbang,” kata gue dalem hati. “Bener-bener nggak imbang.”
Sama halnya ketika gue liat kepribadiannya—caranya bersikap, caranya berpikir, caranya bicara, caranya bermimpi, dan cara-cara hebat lainnya—dalem hati suka berkilah, “Bidadari sama setan hidup bersebrangan.”
Maap,
kalau minder, gue suka lebay.

…...

Seiring berjalannya waktu, Putra mulai memangkas jarak; dia balik ke bangku sebelah gue.
“Han,” suara Putra lemah. “Maapin, ya.”
Gue senyum sambil ngangguk. Setidaknya, sampe detik itu, gue percaya kalau Putra nggak punya niat buruk.
“Tapi,” kata dia. “Mau bantuin gue, nggak?”
“Dengan senang hati, Put.”
“Elo masih suka sama Viola?”
Gue udah nebak kalau pertanyaan ini bakal keluar dari mulut Putra. Dan, bahkan, gue juga udah bisa nebak kalimat-kalimat yang bakal terucap setelahnya.
“Hmm,” gue ngegosok dagu bagian bawah; pertanda lagi mikir. “Hmm….”
Di sini gue punya dua pilihan; pertama, gue bilang jujur ke Putra soal perasaan gue ke Viola dan persahabatan ini hancur; kedua, gue bilang ke Putra kalau gue udah mati rasa sama Viola dan persahabatan ini aman.
Tapi, entah karena faktor persahabatan yang kuat atau perasaan minder yang semakin membengkak, akhirnya gue bilang ke dia, “Gue udah nggak ada rasa sama Viola, Put.” Kata gue. “Beneran.”
Gue senyum.
Padahal hati tersayat.
Sobek, menjadi helaian terkecil.
“Beneran?” Putra masih nggak percaya. “Lo nggak bercanda, kan?”
“Beneran, kok.” Jawab gue. “Emang ada apa?”
“Mau bantuin nggak?” Putra nangkupin kedua tangannya di depan kuping gue. dengan perasaan sumringah, dia berbisik kalau besok lusa rencananya mau nembak Viola di depan rumahnya.
“SERIUS LO, PUUUUT?!?!”
“Nggak usah kaget gitu kali, Han. Katanya udah nggak ada rasa?”
“Eh, oke, maap, gue ulang.” Gue berdehem sekali, uhuk. “Elo serius, nih?”
Putra ngacungin kedua jempolnya di hadapan muka gue.
Persis.

…..

Besoknya, gue beralih profesi sebagai mak comblang yang berusaha buat nyatuin cinta mereka.
Ih, kok elo mau sih, Han?
Sebenernya nggak mau. Tapi kan, alasannya udah gue kasih tau di atas.
Well, dari pagi sampe siang gue berusaha ngobrol bareng Viola—ngomongin semua tentang Putra—tapi, keliatannya, dia nggak tertarik! Serius!
“Putra anaknya visioner lho,” kata gue di sebelah Viola. “Beruntung banget kalau ada cewek yang dapet cintanya.”
Viola malah asik nyoret-nyoret halaman belakang bukunya. “Oh gitu?” katanya.
“Iya,” gue antusias. “Dan ceweknya itu………………… elo!”
Viola mendelik satu kali ke arah gue, terus pergi keluar kelas.
Waduh, gue salah ngomong atau gimana, nih?
Setelah sadar dan tau kalau Viola keluar kelas, Putra—yang nyimak dari kursi paling ujung—berusaha nanya ke gue lewat desisan suara. “Pssstt, Han.”
Gue nengok ke arah Putra terus ngangkat kedua alis gue.
“Ada apahhh?” suaranya terdengar seperti bisikan. “Sinih duluh dong……”
Gue pindah ke kursi sebelah Putra, berusaha ngejelasin apa yang baru aja terjadi.
“Oh, gitu, Han?” kata Putra, setelah gue berhenti cerita. “Terus, gue harus ngejar dia keluar atau gimana, nih?”
Gue nahan dada Putra sebelum dia beranjak dari kursinya. “Jangan,” kata gue. “Biar gue aja.”
Berangkatlah gue ke luar kelas.

…..

Setelah sampe di luar kelas dan berhasil menemukan keberadaan Viola, sebuah kejutan pun terjadi.
Viola lagi duduk di luar gerbang—persis di sebelah lapangan bola komplek. Rambutnya yang panjang sedikit berantakan dan menghalangi wajah cantiknya. Ada apa dengannya?
Karena pertanyaan itu bertubi-tubi menghantam pikiran gue, akhirnya gue memutuskan untuk menanyakannya langsung ke Viola.
“H-hai, Vio,” sapa gue, sedikit canggung. “Ngapain di sini sendirian?”
Nggak ada jawaban. Pundaknya bergetar hebat dan sebuah tetesan bening membasahi rok birunya.
“Lo nangis, ya?”
Dia ngangkat kepalanya dan menatap gue dengan nanar.
“Kenapa sih, Han?” katanya sambil nahan tangis. “Kenapa, hah?”
Kenapa adalah pertanyaan paling aneh yang pernah gue denger dari mulut Viola. Dia menggunakan kata itu tanpa sebuah keterangan.
“G-gue nggak ngerti.”
“Dari pertama masuk kelas, gue udah tertarik sama lo,” dia berhenti sejenak. Gue yang ada di hadapannya mematung dan memandang langit seolah-olah berwarna kuning kejinggaan. “Gue suka cara lo bicara. Gue suka cara lo bikin gue ketawa. Gue suka cara lo mandang gue dari bangku sebelah. Dan, gue juga suka cara lo diem-diem duduk di bangku gue pas jam-jam olahraga.”
Buset, dia tau dari mana, ya?!
“Tapi….”
“Elo tau kan, kalau kita berdua selalu ada di kelompok belajar yang sama? PKN, Bahasa Inggris, Seni Budaya, sama TIK, kita selalu sekelompok,” dia nyeka air matanya pake punggung tangan. “Lo pikir itu kebetulan? Lo pikir itu konspirasi semesta? Kalau iya, berarti lo salah, Han. Salah total.”
“Maksud lo?”
“Itu bukan kebetulan, tapi gue—sebagai ketua kelas—yang nyusun daftar kelompok di kelas. Dan gue, selalu nulis nama lo di bawah nama gue, biar kita satu kelompok!”
Cuaca Bekasi mendadak jadi dingin. Badan gue semakin beku. Rasanya hari ini adalah hari terpanjang dalam hidup gue.
“Viola,” kata gue. “Tap-tapi gue…”
Viola melayangkan tangannya ke udara. “Cukup, Han.”
Terus dia bangkit dari singgahannya dan melangkah menuju ruang kelas.
Sebelum jarak kami terlampau jauh, dia sempet mendelik satu kali ke arah gue dan bilang. “Guguege cigintaga sagamaga fagarhagan, kagaregenaga fagarhagan bigisaga bigikigin guguege kegetagawaga. Kagalogo egelogo negerigimaga cigintaga guguege, begesogok dagategeng yaga kege rugumagah guguege.
Dan, sebagai duplikat ucapannya, dia ngasih gue selembar kertas yang berisi kalimat yang sama
Allahuahbar, kata gue dalem hati. Elo ngomong apa sih, Vi?

…...

Sebulan setelah peristiwa itu, sikap Viola ke gue berubah dingin. Dia nggak pernah nyapa lagi, dia nggak pernah ketawa lagi, bahkan dia nggak pernah manggil/nyebut nama gue lagi. Aneh.
Sampe akhirnya, gue denger ada anak kecil di depan gerbang sekolah yang lari-larian sambil teriak, “BOGOLAGA GUGUEGE!”
Apa dia bilang? Guguege?
Gue ngecek lembaran yang Viola kasih, dan ternyata bener, di sana tertera kata ‘guguege’!
Seriusan, gue merinding.
Ya, Tuhan!
Dengan bakat sok akrab yang gue punya, akhirnya gue deketin anak kecil barusan.
“Dek,” kata gue sambil ngasih lembaran kertas pemberian Viola. “Bisa tolong terjemahin tulisan ini nggak? Nanti kakak kasih uang, dua ribu. Oke?”
Dia girang dan nyerobot kertas barusan. “Aku bacain ya, Kak.”
“Oke.”
“Terjemahannya,” di memfokuskan pandangannya ke tulisan Viola yang udah sedikit buram. “Gue cinta sama Farhan, karena Farhan bisa bikin gue ketawa. Kalau elo nerima cinta gue, besok dateng ya ke rumah gue.”
Mampus, mulut gue mendadak bisu.
“Kak, kak, kak.” anak kecil itu narik-narik seragam gue. “Mana uangnya?”
Gue kasih dua lembar uang seribuan ke dia dan dia lompat-lompat.
Soal pernyataan Viola tadi, mendadak gue mau teriak sekeras mungkin. Karena, di sana tertera kalimat Kalau elo nerima cinta gue, besok dateng ya ke rumah gue.
Kalimat itu, kalimat pendek itu, rasanya kayak peluang hebat yang masa depan janjikan untuk masa lalu. Sama sekali nggak berarti. Sama sekali nggak penting!
Dan detik itu juga, gue ngerasa dikhianatin—bukan sama waktu, bukan sama Viola, tapi sama bahasa.

BAHASA SIALAN!

6 komentar:

“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini