Kenapa Kita Harus Jadi Penuntut?

 “Pokoknya aku gak mau sekolah, kalo Mama ama Papa gak beliin aku motor!”

        
Sebel nggak, sih, kalo kalian denger kalimat kayak gini? Entah itu di Sinetron, di Reality Show, ato di kehidupan nyata.

        Banyak hal yang mendasari munculnya kalimat seperti ini, entah itu karena godaan temen, mengikuti perkumpulan, ato karena gengsi, lantaran apa yang temen-temennya miliki, tidak (juga) dimiliki oleh dirinya. Apa itu suatu masalah? Kayaknya nggak, deh. Apalagi yang mengucapkan kalimat seperti itu (rata-rata) adalah pelajar SMA, yang notabennya adalah posisi tertinggi dalam jenjang pendidikan sekolah wajib. Ih, kampungan banget :’)

Ato, nggak.. mulai sekarang dirubah kalimatnya, jadi:

“Pokoknya aku gak mau dibeli-in motor, kalo Mama ama Papa gak nyuruh aku Sekolah!”

        Kalimatnya jadi keren, kan? Iya, dong. Dimana-dimana, pendidikan harus di ‘nomor-satu-kan’.

        So, gue merasa beruntung hidup dalam keterbatasan finansial. Setidaknya gue selalu meraih segalanya sesuai kemampuan gue, bukan nuntut ke orang tua. mau beli sepatu, nabung. Mau beli tas, nabung. Mau beli gadget, nabung. Cuma beli sempak doang yang bukan hasil nabung.

        Banyak hal yang bisa dibandingkan antara ‘penuntut’ dan ‘pencari’. Contohnya itu tadi, penuntut hanya ingin segala-galanya dengan cara instan. Padahal yang instan-instan hanya akan menghasilkan kesenangan, bukan kebahagiaan. Beda sama pencari, pencari menginginkan segala-galanya lewat usaha dia sendiri. Setiap kali orang terdeketnya ngomong: “Udah, biar gue aja yang ngelakuin..” dia selalu jawab: “Nggak, ah. Gue masih bisa sendiri, kok”. Nah, pertanyaan gue, kerenan mana, Penuntut atau Pencari?

***

        Secara finansial, gue terlahir pada kondisi keluarga yang tidak cukup baik, gue selalu dituntut untuk berusaha sendiri. Kalo mau ngedapetin apa yang gue pengen, ya, harus usaha. Beda, deh, sama kalian yang emang udah kodratnya menjadi ‘Penuntut’. Uhm.. Sebenernya gue juga penuntut, kok. Sayangnya gue penuntut yang nggak pernah didenger. Setiap kali gue bilang: “Bu, aku mau beli ini dong” ato “Bu, aku mau beli itu dong” jawabannya tetep sama, “Nabung!”. Seperti tak ada harapan atas apa yang telah gue sampaikan. Dan seolah-olah gue diharuskan untuk belajar ilmu-ilmu morology :(

        Gue sadar, gue ini penderita alexithymia akut, yang cuma bisa cerita dalam bentuk tulisan, nggak bisa berbagi cerita secara langsung. Jadi apa-apa curhatnya ke ‘Note Book’ atau nggak ke ‘Notebook’. Sedih juga, sih. padahal gue ini bukan tipikal anak ‘pendiam’. Paling, diemnya kalo pas lagi berhadapan langsung sama cewek yang gue taksir doang. Hehehe.

        Terkadang, gue melakukan hal yang seharusnya nggak penting untuk dilakukan. Gue scrolling timeline dari pagi sampe siang, cuma sekedar mencari pengguna akun twitter yang memakai via Iphone, Ipad, atau Mac, dan perangkat lain yang menggunakan software IOS. Banyaaaaak banget following gue yang make via begituan, dan pas gue liat avatarnya, ternyata mereka masih sangat muda untuk menggunakan via macem itu. Ada yang masih SMA, SMP, bahkan ada yang SD! Gue, sih, nggak tau pasti kalo dia ini anak SD apa bukan. Tapi dari biodatanya, dia nyantumin tanggal lahir: 12-06-2002. Nah, lho! Itu tanggal lahir, ato tanggal opening-ceremony nya World Cup 2002 (Korea-Japan)? -__-

        Kenapa gue bahas ‘via’ barusan? Karena secara tidak langsung, gue bisa menafsirkan kalo remaja jaman sekarang bisanya cuma nuntut, kalo nggak nuntut, ya, palingan menengadahkan tangan, seolah-oleh menyimpan harapan besar untuk dibelikan benda kesayangan.

        “Mamaaaaah, udah liat hasil raport-ku, kan? Aku dapet peringkat 10 lho, Ma!” teriak sang anak, penuh kebanggaan akan hasil.

        “Ya, terus?” Jawab sang Mama, singkat.

        “Aku nggak dibeliin hadiah, Ma? Ih, beliin gitar, kek.. ato nggak beliin apa gitu yang aku suka..”

        “Lha.. kamu cuma peringkat 10, apa yang bisa dibanggakan, tho?”

        “Yaudah, kalo gitu.. besok-besok aku nggak mau belajar lagi, titik!”

        “…………”

        Lagi-lagi nuntut ke orang tua. padahal orang tua bukan ‘benda’ yang layak untuk dituntut. Mentang-mentang posisi kita sebagai anak, bukan berarti kita harus dapet apa yang kita mau. Kalo teori ‘Aku-kan-anak-Mama’ masih dipertahankan, lantas bagaimana nasip karakter anak dikemudian hari? Pasti nggak bisa mandiri. Ya setidaknya kalo nggak bisa Mandiri, masih ada BCA ato Danamon, sih. Hehe.

        Satu hal yang masih ngeganjel dipikiran gue, perihal ‘tuntut-menuntut’. Ketika sang anak meminta sesuatu kepada orang tuanya, lalu berkata: “Kok Mama sama Papa nggak mau beliin aku itu, sih. Kalian nggak sayang, ya, sama aku?”

        Ketika sang anak sudah berkata seperti itu, lantas, apa yang bisa orang tua lakuin? Gampar? Pukul? Ato ngurung anaknya di kamar, sambil teriak: “IYA, KAMI NGGAK SAYANG SAMA KAMU! BUKTINYA KAMI SELALU NGASIH UANG JAJAN KE KAMU, BAYARIN KAMU SEKOLAH, NGASIH KAMU MAKAN, DAN LAIN SEBAGAINYA. IYA, ITU BUKTI KALO KAMI NGGAK SAYANG SAMA KAMU!” :( :(

        Bagi gue, dikasih uang jajan aja udah termasuk ke-dalam ‘hal langka’. Bukan masalah pernah ato-ngga nya, tapi masalah nominal uangnya. Bahkan uang jajan gue pas STM nggak lebih banyak daripada uang jajan anak SD pada umumnya. Tapi, apa yang gue dapet? Alhamdulillah, sampe saat ini gue nggak pernah jadi penuntut. Hehe.

        Setelah lulus STM, eh, ato nggak SMK, deh, biar keren. Iya, setelah lulus SMK, temen-temen gue mayoritas melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang di PTN, ada juga yang di PTS. Kalo gue? Alamaaaaak, apalagi kalo bukan disuruh mandiri. Eh, tapi ini mula-mulanya kemauan gue, sih. Dari awal, orang tua udah nyuruh kuliah, tapi karena bakat ‘pencari’ yang ada di raga gue ini terus bergelora, alhasil gue ngomong: “Bu, Pak.. udah, biar Farhan aja yang nyari uang sendiri untuk biaya kuliah..” *Daaaank!* -__-

        Tapi gue yakin, segala sesuatu yang berhubungan dengan kemandirian, pasti akan membawa kita menuju kedewasaan. Dewasa untuk menyikapi suatu masalah, dewasa dalam menetukan jalan hidup kedepannya, dan yang terpenting, dewasa dalam mengukir mimpi-mimpi yang udah kita simpen. Iya, mimpi itu bukan action-figure yang bisanya dipajang, dan diidam-idamkan untuk hidup aja. mimpi itu mahal, lho. Buktinya, banyak anak Bangsa yang bingung sama masa depannya. Yang ada dipikiran mereka cuma: “Kerja apa aja, deh.. yang penting gue bisa beli motor Kawasaki Ninja!” #Eh.

        Kurang lebihnya pemikiran anak bangsa itu kayak gini:

Taman Kanak-Kanak

“Kalo udah gede, aku mau jadi Pilot, biar bisa ngajak Mama sama Papa jalan-jalan keliling dunia”

Sekolah Dasar

“Aku mau jadi pemain bola Dunia, ah. Biar bisa ketemu David Bechkam, Cristiano Ronaldo, sama Tsubasa Ozora..”

Sekolah Menengah Pertama

“Enak, ya, jadi Pengusaha. Kerjanya santai, tapi pendapatannya besar. Aku harus bisa jadi pengusaha!”

Sekolah Menengah Akhir

“Bingung, ih, gede-gede mau jadi apa. Udah, lah.. yang penting fokus ke kuliah dulu”

Lulus Kuliah

“Hidup yang realistis aja, ah. Jadi Karyawan juga nggak apa-apa. Yang penting halal”

        Udah liat, kan, fase hidup anak Bangsa? Benerkan apa kata guweh? Semakin dewasa, mereka semakin bingung menentukan jalan hidupnya. Ya, mau-nggak-mau, mereka harus milih ‘opsi’ yang paling ‘realistis’. Ujung-ujungnya? Ya itu tadi, Cuma jadi buruh pabrik.

        Padahal banyak hal hebat yang menanti mereka didepan. Banyak posisi idaman mereka yang sampe saat ini kosong. Misalnya pemain bola, pemain bola adalah profesi yang gak akan pernah mati. Pasti ada saatnya seorang pemain bola mengalami fase tua, dan harus diganti oleh pemuda. Pemudanya itu siapa? ya kalian. Contoh kecilnya si Ronaldinho. Pemain terbaik tahun 2005 ini berada pada puncak karirnya saat itu. Apa yang dia mau, pasti kesampean. Tapi sekarang? Ya, itu tadi.. karena usianya udah 33 tahun, doi harus diganti sama pemain-pemain muda, seperti Neymar, Goetze, Bale, Isco, dan masih banyak lagi. lagian, kan, pemain bola itu profesi cowok sejati. Keringetan, kotor-kotoran, lari-larian. Like a child in the old. Hehe.

        Dengan sang jalan (baca: by the way), sebagai seorang yang berada pada posisi pencari, gue nggak mau maksa kalian buat ikutan saran gue. Apalagi maksa kalian buat twerking ala Miley Cyrus di VMA. Nggak, kok, tenang aja. Intinya, gini deh.. pikirin lagi dampak yang akan terjadi kalo kalian masih nuntut ini-itu ke orang tua, apalagi usia kalian udah nggak muda lagi.

        Dulu, ayah gue pernah bilang: “Seorang anak yang hidupnya dihabiskan untuk menuntut, maka saat besar nanti hanya akan menjadi seorang yang layak untuk dituntut. Karena pada dasarnya, tuntut-menuntut adalah aktifitas turun-menurun”. ih, serem, kan? Entar kalo kita udah jadi orang tua, gantian, deh, kita yang dituntut sama anak kita. Malah ancemannya bisa lebih sadis lagi, lho. Contohnya: “Ma, beliin aku gadget, dong! Kalo nggak dibeliin, mending aku mati aja!”

        Lagian, kan, di dalam hadist Bukhari no. 6910 udah dijelaskan kalo kalian berdoa kepada Allah, maka seriuslah dalam berdoa & jangan salah seorang di antara kalian berkata 'Jika Engkau berkehendak maka berilah aku', sebab Allah sama sekali tak ada yg bisa memaksa. Nah, jadi buat apa kita nuntut yang macem-macem ke Allah, orang tua, ato temen sekitar, kalo pada kenyataannya, kita ini hidup untuk mencari hal yang diinginkan, bukan sekedar mengharapkan, lalu mengemis pada keadaan. Apalagi sampe memaksakan kehendak, padahalkan Allah selalu tau apa yang kita mau. Mungkin kitanya aja yang kurang berdoa dan berusaha. Simpel, kan?