Di usia yang sekarang, aku masih tidak mengerti bagaimana
definisi cinta yang sebenar-benarnya. Beberapa definisi yang aku kantongi
sekarang adalah hasil pemaknaan dari orang lain, bukan sebagai pelaku yang
merasakannya secara langsung.
Aku pernah mendengar bagaimana seorang teman yang
cukup agresif mengatakan bahwa cinta adalah kekagumannya kepada wanita pemilik
badan sintal. Teman yang lebih pendiam mengatakan bahwa cinta adalah
kekagumannya terhadap sisi kesederhanaan seorang wanita. Kebingunganku meledak
ketika temanku yang berpegang teguh pada agama mengatakan bahwa cinta hanya
berlaku untuk Tuhan, manusia hanya berperan sebagai perantara.
Ketidaksadaran akan pemaknaan cinta itu yang membuat manusia
terbelenggu kekeliruan. Ada banyak sekali kemungkinan yang sudah melambaikan
tangannya di kejauhan. Jika terus diabaikan, lambaian tangan tersebut akan
berubah menjadi jabat tangan. Secara tidak langsung, ketidaksadaran itulah yang
membawamu pada kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah terpikirkan.
Barangkali kamu bertanya-tanya, kemungkinan seperti
apakah yang aku maksud?
***
Tuhan merangkai wanita dari komponen-komponen yang
rapuh. Wanita adalah makhluk yang rela menyisihkan logika demi memenangkan
sebuah perasaan. Bagi mereka, sebuah ikatan adalah lambang kepercayaan. Dan ini
yang menjadi masalah besar.
Aku selalu bertanya-tanya, kenapa wanita bisa semudah itu
percaya kepada pasangannya? Atau, mungkinkah mereka merasa bahwa ‘ikatan’
adalah syarat tercapainya keterbukaan? Sehingga berpacaran saja dirasa sudah
cukup untuk meyakinkan diri mereka mengenai eksistensi kepercayaan.
Tentu saja mereka salah besar.
Pasangan yang kamu pikir sungguh-sungguh mencintaimu
sebenarnya palsu. Ia tidak mencintaimu, tapi mencintai dirinya sendiri. Lihat
saja bagaimana cara ia mengungkapkan perasaannya. Terkesan egois dan hanya
mengikuti keinginannya pribadi.
Ia mengatakan bahwa kamu cantik, dan ia menyukainya.
Kemudian muncul sebuah perasaan, hingga akhirnya ia berusaha menjeratmu dalam
ikatan ‘murahan’. Bukankah ini terkesan egois? Ia mendapatkanmu hanya untuk
memenuhi keinginannya. Lebih buruk dari itu, ia hanya ingin mengetahui sejauh
mana manfaat dari kecantikan yang kamu punya. Jika dirasa manfaat itu sudah
pudar, ia akan melepas ikatannya. Kemudian menyiapkan sebuah tali yang baru.
Seseorang yang benar-benar mencintaimu memiliki alasan
yang berbeda. Ia melihat sesuatu yang tidak tampak. Sesuatu yang ganjil yang
harus digenapi. Mungkin ia melihat kesedihanmu, sehingga ia memiliki alasan
untuk menghapusnya dengan cara mencintaimu. Atau ia melihat kerapuhanmu,
sehingga ia merasa bahwa mencintamu adalah cara untuk menguatkanmu.
Seseorang yang benar-benar mencintamu, mencintamu
karena kamu.
Sebuah pertemuan terkadang juga keliru. Pasanganmu
mengatakan bahwa ia sedang ingin sekali bertemu, sementara kamu menolaknya
karena ada kegiatan lain yang jauh lebih penting. Kemudian pasanganmu memakai
ungkapan ‘rindu’ sebagai alat untuk mengelabuhimu. “Aku kangen kamu. Kalau kamu sayang aku, pasti kamu ada waktu untuk
ketemu.”
Basi.
Lagi-lagi tentang keinginan pribadi. Egois.
Aku ingin memberitahumu satu hal penting, bahwa cinta
adalah perkara memahami dan memaklumi. Dua hal ini menjadi elemen terpenting
dalam sebuah hubungan. Ketika sudah mampu memahami dan memaklumi, maka tak akan
ada lagi perselisihan, ataupun pertikaian.
Sebagai contoh kasus pertemuan di atas. Jika
pasanganmu benar-benar mencintaimu, dia akan memahami. Sehingga kalimat yang
pertama kali timbul dari kepalanya adalah: ”Silakan,
kegiatanmu adalah prioritas.” Dan diikuti oleh kalimat: “Boleh aku mengantarmu?”
Tampak sederhana namun hanya sedikit yang berhasil menyadarinya.
Akhir pekan lalu temanku bercerita tentang pacar
barunya. Ia secara terang-terang mengatakan bahwa pacarnya adalah lelaki yang
penuh pengorbanan, lelaki yang menurutnya sudah melangka, dan sulit ditemukan
di muka bumi.
“Gue cukup beruntung, Han.” tutupnya, setelah bertutur
penuh perandaian.
“Beruntung?”
“Iya, coba elo itung ada berapa cowok yang rela
ngorbanin waktunya untuk nganter pacarnya cari pot bunga sementara di luar sedang
ujan lebat?” Dia menarik napasnya satu kali dan menjawab pertanyaannya sendiri.
“Hampir nggak ada, Han!”
“Terus dia bilang apa?”
“Dia bilang: Aku rela hujan-hujanan demi kamu.”
“Itu yang dinamakan berkorban?”
“Ini yang dinamakan berkorban.”
Rasa-rasanya hatiku memaki penuh hujatan. Kata yang
pertama melintas di kepalaku adalah ‘basi’, sementara kata kedua adalah
‘bodoh’. Kebodohan yang mulai membasi.
Berkorban, menurutku, tidak menjelaskan apa-apa.
Berkorban bukan cinta, melainkan kalkulasi, hitung-hitungan. Kalau ia sampai
mengatakan bahwa dirinya telah berkorban hanya untuk melakukan hal-hal kecil,
itu pertanda ia tidak memiliki kesungguhan. Kalimat “Aku rela hujan-hujanan demi kamu” secara jelas membuktikan bahwa
kemampuannya hanya sebatas itu. Sebab kata ‘berkorban’ biasanya hanya dipakai
untuk peristiwa-peristiwa yang dirasa berat dan berada di ambang batas
kemampuan seseorang.
Jika hujan-hujannya saja sudah dianggap sebagai bentuk
pengorbanan, lantas bagaimana dengan pemberian serta penjagaan lainnya?
Beberapa waktu lalu aku menyaksikan program Tedx di
Bandung. Pengisi acaranya adalah Sudjiwo Tedjo. Kalimat “Pengorbanan adalah
kalkulasi” adalah ucapannya saat itu. Menurut Tedjo, pengorbanan adalah sesuatu yang bisa diukur, dan ketika seseorang
merasa berkorban maka ia pasti memiliki batas. Maka hilang sudah kemurnian
cintanya.
Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa aku berusaha
memisahkan antara ‘cinta’ dan ‘pengorbanan’. Mungkin kalian juga bertanya-tanya
mengapa aku memandang pengorbanan sebagai suatu hal yang cenderung dibuat-buat.
Tapi mungkin juga kalian lupa, bahwa yang cinta butuhkan hanya pemahaman dan
pemakluman, seperti yang selalu aku singgung sejak awal.
Aku membayangkan seandainya semua manusia dibekali
oleh naluri memahami yang baik, maka tidak akan ada lagi pengorbanan yang
dibuat-buat. Mereka akan melakukan segalanya tanpa paksaan: mengantar karena
ingin; berhujan-hujanan karena memang seharusnya. Jika semua orang memiliki
naluri memahami, maka tidak akan ada lagi pertengkaran karena rasa curiga. Segala
firasat yang melintas akan terjawab dengan ketenangan.
Jadilah seseorang yang sanggup memahami, maka
prasangka-prasangka akan teredam.
Pilihlah seseorang yang sanggup memahami, maka tidak
akan ada kekhawatiran.
KAK FARHAAAAANNNNNNN!!!
BalasHapusberattttt
BalasHapus