Mereka bilang, cinta
hanya perlu diungkapkan; penolakan bukan lagi jadi persoalan. Tapi bagaimana
jika ketakutan terbesar kita bukan lagi tentang penolakan, melainkan
pertimbangan menghadapi segala kemungkinan?
Manusia dihadapkan pada
banyak sekali kemungkinan. Ketika memutuskan untuk mengikat komitmen dengan
seseorang, maka kemungkinan tersebut akan mengakar dan menciptakan
kemungkinan-kemungkinan baru.
Dan itulah yang menjadi
ketakutan manusia dewasa.
Aku, termasuk di
dalamnya.
***
Manusia dewasa adalah
makhluk yang paling rumit. Jika sebuah kemungkinan
belum terkonsep rapi, mereka akan menghindari komitmen—bahkan untuk sekedar
mengutarakannya saja, mereka pun sulit dan terkesan ragu-ragu.
Kerumitan cinta usia
dewasa memutar ingatanku tentang masa-masa remaja dulu. Ketika kita mengagumi
seseorang, ‘desiran’ itu seperti cairan yang mengaliri rongga-rongga dada,
kemudian perlahan memuncak menyusuri kerongkongan dan pecah melalui kata-kata.
Kalimat “Aku suka kamu” kala itu bagai tiga kata tanpa pertimbangan. Terlepas
begitu saja.
Sekian tahun lalu,
ketika duduk di bangku SMP, aku menyadari betul bahwa ketakutan kita dalam
menyatakan perasaan hanya terletak pada jawaban seseorang yang kita suka. Kita
tidak benar-benar yakin apakah ia menerima atau sebaliknya. Beda dengan
sekarang, ketakutan terbesar justru berasal dari diri sendiri. Ketakutan soal
ketidakmampuan membahagiakan, memberi ketenangan, atau lebih jauh dari itu,
memberi kepastian masa depan—berupa pekerjaan dan kemampuan finansial.
Tentang pengalamanku
ketika SMP dulu, aku memiliki teman bernama Dio. Tentu saja aku menyamarkan
namanya, demi menjaga privasinya.
Dio adalah anak lelaki
sederhana yang secara fisik tidak terlalu istimewa. Rambutnya tersisir rapi,
klimis ke arah kiri. Terkadang ia melancipkan bagian atas rambutnya menggunakan
gel. Di tahun itu, rambutnya adalah yang terbaik. Setidaknya menurut dia, dan
adiknya yang belum sekolah.
Dio selalu berangkat
sekolah lebih pagi dibanding anak-anak lain. Sepeda BMX-nya selalu ia kayuh
sekuat tenaga, seakan paling cepat bagai jet darat. Ketika sampai di ruang
kelas, ia buru-buru menuju kamar mandi, mencari cermin, dan kembali menyisir
rambutnya.
Aku mengenal Dio cukup
dekat. Kita sering bertukar cerita ketika guru sedang tidak ada. Dia bertanya,
perempuan seperti apa yang aku suka? Perempuan yang pintar, jawabku. Dan ketika
aku ganti bertanya, dia mengarahkan jari telunjuknya ke arah gadis bernama Anya
(nama ini juga disamarkan). “Perempuan seperti itu, Han.” Katanya, dengan binar
mata berkilatan. Dan mulai dari sini, aku menemukan sesuatu yang tidak bisa
ditemukan di usia dewasa, suatu hal yang melangka; kesederhanaan, serta
keyakinan.
Seminggu setelahnya Dio
menemui Anya untuk mengungkapkan rasanya. Ia memintaku menamaninya. Diam-diam aku
sembunyi di balik dinding dekat mereka. Setelah sekian kali berganti topik, akhirnya
Dio berani mengatakannya.
“Anya, aku suka kamu.”
Hening memayungi mereka
sejenak. Andai aku bisa melihat wajah Dio, sudah habis dia kutertawakan.
Kemudian terdengar
ketepak kaki melangkah cepat. Anya berlari melintasiku. Rambutnya berkibar
tersapu angin. Secara bersamaan wajah Dio muncul di balik dinding, “Bukan
ditolak,” katanya. “Cuma belum diterima aja.”
Keyakinannya tidak juga mereda.
Dio benar-benar menaruh beribu harapan kepada Anya. Berkali-kali konsentrasi
belajarnya pecah karena delik matanya selalu menyorot Anya. Sudah sering ia
ditegor guru karena ulahnya itu, namun alasannya tetap sama: Lain kali tidak
terulang lagi.
Dan ia mengulangnya
hingga jutaan kali.
Bulan berikutnya, Dio
kembali berusaha mendekati Anya. Ketika jam pelajaran kosong karena guru berhalangan
hadir, Dio menulis di selembar kertas dengan huruf kapital: “SEKARANG UDAH SUKA
AKU BELUM?”
Kemudian ia melipatnya,
dan menaruhnya di dalam laci meja Anya. Sialnya, Anya tidak membalas. Bahkan
melihat pun sepertinya tidak.
Dio sering menulis
kalimat itu setiap pagi, berharap siangnya Anya dapat membacanya. Namun, kertas
itu selalu menghilang setiap kali ia memeriksanya. Jika petugas kebersihan yang
memungutnya, tidak masalah. Tapi jika ternyata yang memungutnya adalah anak
kelas tujuh yang mengisi ruangan setiap siang? Bisa mampus ia ditertawakan.
Hari-hari berikutnya
masih sama, ia menulis kalimat: “SEKARANG UDAH SUKA AKU BELUM?” berulang-ulang.
Namun tetap tidak menemui hasil. Ia pernah mengajak Anya pergi ke lapangan bola
untuk melihatnya bertanding. Tidak ada penolakan dari Anya, namun tidak juga
ada persetujuan. Anya cenderung mendiamkannya, tanpa mempertegas apa
sesungguhnya yang ia rasa.
Hingga suatu pagi,
kertas-kertas itu tertumpuk di laci meja Dio. Jumlahnya belasan, atau mungkin
puluhan. Di puncak tumpukan kertas, terdapat satu kertas berukuran lebih besar.
Dio membukanya, dan terlonjak kegirangan.
SUDAH.
Kertas itu bertulisan: S
U D A H.
Dio belum sepenuhnya
percaya. Mimpikah ia? Atau kertas itu berasal dari anak kelas tujuh yang ingin
mengerjainya? Bergegas ia berlari menuruni tangga, mencari-cari Anya yang sedang
membeli minuman di koperasi sekolah. Ketika berhasil menemukannya Dio lekas menghampirinya.
Anya tersenyum, dan berkata, “Perlu dijawab secara langsung?”
Dio meledak hebat. Kepulan
asap seperti keluar dari lubang-lubang tubuhnya. Hari itu tidak ada nama lain
di kepalanya, selain nama Anya.
Sesederhana itu;
sesederhana mengungkapkan perasaan melalui selembar kertas. Mungkinkah kita—dan
manusia dewasa lain—melakukannya? Atau bagaimana tentang Anya? Yang sabar dan
rela menunggu demi melihat kesungguhan hati Dio? Mampukah kalian—dan manusia
dewasa lain—hanya melakukan pertimbangan melalui kesungguhan, tanpa pertimbangan lain yang memberatkan?
Mampukah?
Mungkin kita tak bisa
lagi mengulang kebiasaan-kebiasaan usia remaja; kita juga tak bisa lagi
memainkan peran seorang Dio, ataupun Anya. Kita sudah mulai lelah mengemas
cinta menjadi suatu hal yang menyenangkan. Namun memang sudah begitu hukum
alamnya, dan tak seorang pun sanggup menolak.
Saat ini aku merasakan
betul bagaimana bodohnya mendengar pertanyaan-pertanyaan tentang kapan memiliki
pasangan. Mereka menanyakannya berulang-ulang, seakan-akan dengan tidak
memiliki pasangan, aku akan menjerit-jerit di ruang kosong dan berjalan dengan
langkah penuh kekalahan. Aku baru berdiri di awal dua puluh, pelan-pelan
kedewasaan membelit kepalaku dengan segala pemikiran penuh pertimbangan. Aku memang
belum sepenuhnya dewasa, namun sudah keluar dari keremajaan. Satu hal yang selalu
‘Dewasa’ bisikan kepadaku adalah: bahwa ada satu hal yang lebih penting dari
sekedar cinta.
Yaitu tanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
“Either positive or negative comments are good because it shows I am still relevant.” – Justin Guarini