Ibuku pernah bilang, “Kalo kamu jatuh cinta, tulis sebuah surat.
Kalo kamu memendam cinta, simpan sebuah surat.”
Awalnya aku kurang paham
dengan ucapan ibu. Kata ‘simpan’ di sini memiliki arti yang ganda; pertama,
simpan bisa berarti disembunyikan; kedua, simpan bisa berarti
kemunculan-yang-sedikit-ditunda.
Sampai pada akhirnya ibu
melanjutkan, “Simpan, demi kebaikanmu
kelak.”
Simpan,
demi kebaikanmu kelak. Yeah! Itu tandanya ‘simpan’ memiliki
arti yang cukup baik. Eufemisme dari kata harapan. Maksudku, suatu saat nanti,
surat ini akan dibuka dan dibaca oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
kalimat yang kita rangkai tersebut. Jadi aku menatap wajah ibu, lalu berkata
dengan suara parau, “Bu, aku mau nulis surat untuk calon istriku.”
Ibu menarik napas
dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Silahkan,” katanya.
“Jangan membuat calon istrimu menunggu.”
Aku mengangguk—berpaling
dari wajah ibu, kemudian mengambil sebuah pena, dan selembar kertas putih
bergaris. Lalu, pada detik itu juga, aku mulai menulis sebuah surat.
Untukmu, kecantikan abadiku.
Kamu adalah wanita yang
pertama kali membuka surat ini—menyobeknya di bagian atas amplop. Tapi taukah
kamu? Amplop yang sudah disobek, selamanya tidak akan pernah menyatu
kembali. Bahkan dengan cairan lengket sekuat apapun, amplop yang sudah sobek
akan tetap menjadi amplop yang sudah sobek. Tidak akan pernah berubah. Jadi,
tugasmu hanya satu, kekasih: buang amplop bekas itu, dan ambil secarik kertas
yang tersembunyi di baliknya.
Jangan tersenyum, ambil
saja, lalu bacakan.
Bagus.
Jika kamu sudah berada pada
bagian ini, tandanya kamu harus menangis, karena tulisanku akan menyentuh
sebagian hatimu. Tidak perlu takut. Jika ingin menangis, lakukan saja.
Kecantikanmu tak akan pudar karena air matamu. Yang harus kamu tau, Istriku.
Kamu selalu cantik dalam berbagai hal. Sungguh.
Istriku yang kucinta, aku
belum mengenalmu ketika menulis surat ini. Bahkan Allah belum memberiku inisial
namamu. Tapi ketika aku bertanya ‘mengapa’, Allah menjawabnya dengan rangkaian
nama di Lauh Mahfuz. Aku tidak tau
apa yang Allah tulis pada saat itu. Tapi kini, aku mengetahui jika Allah
merangkai sebuah kata dengan sangat cemerlang—beberapa huruf konsonan dan vocal
yang dileburkan menjadi satu, dan membentuk sebuah nama yang indah; nama
seorang wanita. Dan kini, wanita itu sedang menatap surat ini dengan tatapan
tajam, bertanya-tanya apa maksud dari perkataanku. Dan setelah menyadari, ia
akan tersenyum dengan manis. Beberapa detik kemudian, dan…
… wanita itu masih
tersenyum.
Kemudian tertawa.
Subhanallah. Aku mengagumi
caramu tersenyum dan tertawa—meskipun aku mengagumi semua hal yang ada pada
dirimu—tapi itu adalah dua hal yang menjadi alasan utama mengapa aku memilihmu.
Istriku yang manis, kini aku
sudah halal bagimu. Izinkan aku merengkuh tubuhmu—membelai keningmu dengan
sentuhan tulus seorang suami. Dan izinkan aku untuk berkhayal bersamamu di
malam pernikahan kita. Menghayal tentang berbagai hal. Mulai dari mimpi kita,
sampai ke kisah anak-anak kita nanti.
Manisku, pada suatu malam,
aku akan bertanya padamu tentang masa depan. Bukan suatu hal yang terlalu tinggi;
sebatas kewajaran seorang pengantin. Aku ingin bertanya padamu, jika kelak kita
memiliki anak, apa nama yang akan kau berikan padanya?
Aku tahu, kamu masih bingung
menentukan sebuah nama. Tapi kamu jangan khawatir, istriku, kamu memiliki
pasangan yang bisa diandalkan. Bagaimana jika kita membahas ini bersama? Aku
berjanji akan memberikan gagasan sebaik mungkin. Jika tidak, kamu boleh menghukumku
dengan berbagai cara, seperti: mengacak-acak rambutku dan menyoret seluruh
wajahku dengan spidol berwarna ungu. Di waktu subuh, saat aku masih terbaring
di atas ranjang kita.
Istriku, besok pagi adalah
hari pertamamu memasak untukku. Aku tidak pernah meragukan keahlianmu dalam hal
ini, karena kamu adalah koki terbaik yang pernah kukenal sepanjang hidupku.
Dan kelak—beberapa hari
setelah pernikahan kita, kamu akan bertanya, “Suamiku, apa yang membuat kamu
menyukai makananku?” dan dengan tulus, aku akan menjawab, “Tanganmu, istriku.
Karena semua bahan makanan yang kamu buat, sebelumnya tersentuh oleh tanganmu.”
Oh, Istriku yang cantik,
Allah telah memilihmu sebagai wanitaku; teman masa dewasaku. Aku berjanji pada
alam semesta untuk menghidupimu dengan layak. Membesarkan anak kita, hingga ia
menjadi seseorang yang disegani oleh kawannya. Dan kau tau, cantik? Pada saat
itu, kita sudah beranjak tua. Kerutan di kening kita sudah terlihat dengan
jelas. Beberapa bercak hitam juga mulai menguasai seluruh pipi kita. Tapi kau
harus tau, istrikku, kau masih sama seperti hari ini—masih memancarkan nuansa
cerah dari wajahmu. Karena sungguh, kecantikan wajahmu se-abadi cinta kita
berdua.
Beberapa puluh tahun
kemudian, kita berdua akan berada pada fase akhir; aku dengan kelemahan
tubuhku, dan kamu dengan kelemahan tubuhmu. Kita berada pada fase yang sama,
tapi pesona yang berbeda. Karena kuulangi sekali lagi, kau akan menjadi nenek
yang paling cantik di dalam hidupku—seorang nenek yang saat ini sedang
meneteskan air matanya di atas selembar kertas, lalu menyekanya dengan punggung
tangan.
Sudah, jangan menangis.
Umurmu masih muda, masa tuamu masih jauh terbentang di ujung sana.
Cintaku, tidak ada ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pesona abadi seorang wanita. Tapi bagiku,
kamu adalah kecantikan abadiku—kerlingan cahaya harapanku. Gapailah tanganku,
kekasih. Kita akan beranjak tua bersama. Kita akan duduk bersebelahan di masa
tua kita—membicarakan kebahagiaan kita di masa muda.
Anak-anak dan cucu-cucu
kita, akan berada di sisi kita. Dan aku akan menjelaskan kepada mereka, bagaimana
cara mencintai seorang wanita cantik dengan benar.
Sekali lagi, aku
mencintaimu, istrikku. Rengkuhlah tubuhku, benamkan wajahmu di pundakku, dan
rasakan, betapa Allah maha indah—mempertemukan sepasang sejoli, yang sama-sama
memiliki bakat untuk tumbuh dengan setia.
Tutuplah surat ini dengan sekali
lipatan, cantikku. Kemudian simpan di tempat yang menurutmu aman. Jadikan
kertas ini sebagai awal dan nostalgia kita di masa tua nanti. Terima kasih
telah membacanya. Terima kasih telah mendengar harapan masa remajaku.
Bekasi, 13 Februari
2015.
Dariku, suami
terbaikmu.
Kaaaaaaaaakk :'(((
BalasHapusKOK KAMU NGGAK PERNAH BILANG SIH KALAU KAMU PUNYA BAKAT NULIS SURAT CINTA, HAN......... :")
BalasHapusWah, lupakan tentang suratku. Karena, secara mengejutkan, blogku dikomen sama maestro penulis surat!
HapusKeren, gue ngerasain "jiwa"-nya cium ia kelak jika nanti ia tidak menangis membaca ini.
BalasHapusah sosweet bangeeet ,, andai entar ada yang kasih surat begituuu :D
BalasHapusYa ampuuun :')
BalasHapusYa tuhan ga kuat :')
BalasHapusSuratnya bagus. Salam untuk istrimu kelak, dia wanita yang beruntung karena dikirimi surat semanis ini:')
BalasHapus