“Gue baru tau, kalo ternyata di Amsterdam itu suhunya dingin
banget, ya? Apalagi di pusat kotanya, astagaaaaaa, bikin merinding!” kata
mahasiswi modis yang selalu heboh sama apa aja yang berhubungan dengan Eropa,
Amerika dan hal-hal lain yang baginya luar biasa.
“Masa, sih? Tadinya gue pikir Bandung itu kota paling dingin,
eh, ternyata nggak. Padahal gue aja kudu pake jaket jeans lapis tiga kalo kesana,
khususnya di Lembang, tuh,” respon wanita sederhana bernama Nara, sahabat
mahasiswi modis barusan, sembari membuka halaman per-halaman novel And Then There Were None karya Agatha
Christie yang sedari tadi dipegangnya.
“Alaaaaaa, itu sih karena elo-nya aja kampungan. Tidur di
kamar ber-AC aja, langsung flu. Makanya, biasain hidup di tempat-tempat dingin.
Besok bilang ke nyokap-bokap lo, kalo di luar sana, ada Negara yang namanya
Islandia! Disana dingin banget. Percaya, deh!” Sembur mahasiswi modis yang
makin lama, makin ngeselin, “Eh, tapi…..”
“Tapi kenapa?”
“Tapi gue takut aja. Takut kalo mati kaku disana. Beneran.
Coba aja lo pikir, pergi ke Bandung aja, elo kudu pake jaket jeans
berlapis-lapis, apalagi ke Islandia? Bisa-bisa elo berpakaian ala tentara Eropa
Barat abad pertengahan. Serba besi!”
“Astagaaaa, lagian bokap ama nyokap gue nggak bakal ngizinin
kok. Apalagi ongkos ke Islandia kan mahal. Nggak cukup barang seribu ato dua
ribu perak!” timpalnya ketus, “PUAS LO?!”
“Duile kasihan amat sih lo. Dasar, perempuan miskin penuh
kebanggaan!” Mahasiswi sengak itu ngedorong pundak Nara, sampai novel yang
sedari tadi dipegangnya terlempar jatuh, “Eh, buku apa, tuh? Resep makanan ya?”
“Bukan, ini novel. Kenapa? Elo mau ngehina gue lagi? mau
ngatain selera bacaan gue rendah? Atau mau bilang kalo gue nggak pantes baca
novel terjemahan? Udah, deh.. gue nggak ada waktu. Sorry banget!”
“Oh, novel. Gue juga hobi baca novel, kok. Apalagi karyanya
Johann Sebastian Bach. Ya Tuhan! He is
the best writer I’ve ever known! Oke, kedengerannya emang jadul, sih. Tapi, menurut gue classic is classy, right?” kesengak-an mahasiswi modis itu mulai
menjadi-jadi, “Eh, ngomong-ngomong, yang lagi lo baca itu buku apa, sih?”
Nara merapikan novelnya yang lusuh, sambil menyeka cover
novelnya yang kotor, ia menjawab dengan yakin, “Bukunya Agatha Christie! Selain
Agatha, gue juga suka sama karyanya Nicho Sparks, Suzanne Collins, Enid Blyton, dan banyak
lagi! Untuk buku lokal, gue suka sama karyanya Hilman Hariwijaya. Kenapa? Mau
ngeledek lagi?”
“Ngg…. Nggak kok..”
“Yaudah, gue mau balik dulu, ya. Lagian juga udah sore,
takutnya nyokap gue nyariin,” Nara membalikkan badannya, kemudian mendelik ke arah
belakang. Dan disaat yang bersamaan, ia sempat berujar pelan, “Eh, iya, hampir
aja gue lupa. Sekedar ngasih tau aja nih, kalo Johann Sebastian Bach itu bukan
penulis, tapi komponis Legenda yang lahir di Negara Jerman. Kenapa nggak
sekalian aja lo bilang, kalo elo suka sama novel karyanya Inul Daratista!”
Mahasiswi super modis itu melongo kaget. Sedang Nara berlalu dengan cepat sambil melepaskan gelak tawanya
yang tak bisa dibendung lagi. Hahaha…..
***
Belajar dari percakapan di atas, kita semua pasti kesel kalo
berhadapan sama orang yang sifatnya kayak gitu. Selalu mau nunjukin apa yang
menurutnya oke. Berharap mendapat sanjungan ekstra dari si lawan bicara.
Padahal seharusnya mereka tau, kalo sanjungan sejati itu di dapat dari sebuah
kejujuran, bukan kebohongan-kebohongan kroco kayak gitu.
Padahal apa susahnya sih buat jujur? Kita cuma dituntut untuk
berkata yang sebenernya aja, kok. Kalo emang kamu ngerasa ini, ya katakan ini.
Kalo kamu ngerasa itu, ya kamu juga harus katakan itu. Simpel banget, kan? Cuma
kegengsian mereka aja yang bikin semuanya jadi ribet.
Ambil contoh, misalnya di suatu taman ada dua remaja yang
sedang duduk berdampingan. Kemudian si pria itu mulai melakukan pendekatan, dan
mulai mencari perhatian. Sedikit demi sedikit si Pria itu berhasil memangkas
jarak, dan berhasil duduk di sebelah wanita barusan, persis, hanya berjarak
sekian senti. Kemudian dengan ragu, si pria itu membuka percakapan. Waktu
berlalu dengan cepat. 5 menit.. 7 menit… 9 menit…
Dan
30 menit pun berlalu, dua sejoli ini tenggelam dalam fantasi percakapan.
Terlebih si pria barusan bercerita soal kekayaannya. Soal harta yang menumpuk
di rumahnya. Soal mobil yang jumlahnya entah berapa. Soal halaman rumah yang
katanya seluas Greenland. Dan tak ketinggalan, si pria ini juga bercerita
bagaimana posisinya di perusahaan. Ya, dia mengaku dirinya sebagai presiden
direktur di salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta!
Hebat
sekali, bukan?
Padahal
si wanita barusan belum tau, kalo sebenernya si pria ini adalah pengangguran
kelas wahid. Udah 2 tahun si pria ini ngedokem di rumah. Kerjaannya cuma main
catur, main kartu, main Get Rich, sama ngerokok. Gitu terus, sampe Kangen Band
ngadain world tour di London!
So,
kira-kira usaha pria barusan buat ngelanjutin pedekate bakal berhasil nggak?
Ya, jelas nggak! Soalnya si wanita barusan bakal inget sama semua kata-katanya.
Semua kalimat palsunya. Semua janji-janji indahnya. Toh, kelak semua kata-kata
palsu itu bakal ditagih, kok. Beneran.
“Lho,
katanya kamu tajir, kok nongkrongnya di warung kopi?”
“Lho,
katanya kamu punya mobil mewah, kok kemana-mana masih naik KOPAJA?”
“Wah,
wah, wah.. kamu kemarin kan janji sama aku, kalo kita bakal dinner bareng di restauran Madeleine
Bistro Jakarta. Kok sekarang kita malah masuk ke Rumah Makan Sunda, sih?”
“Katanya
duitnya banyak, tapi kok minumnya ARINDA sama Granita, sih?”
Dan
tentunya masih banyak lagi..
Seandainya
dari awal si pria barusan fair-fairan sama
pasangannya, nyeritain soal keadaan aslinya, nyeritain soal latar belakang yang
sebenernya. Pasti semua tagihan itu nggak akan terucap.
Well,
satu hal yang perlu kamu tau, kita hidup di dunia ini udah susah, kenapa kamu
mau bikin semuanya makin susah dengan kebohongan-kebohongan yang kamu buat?
Kenapa kamu sangat sulit untuk berkata jujur di depan publik? Kenapa kegengsian
kamu jauh lebih kuat dibandingkan kecuekan kamu sendiri? Oh, jawabannya cuma
satu: karena semua manusia itu gila akan sanjungan. Sanjungan yang membuat
dirinya terlihat paling hebat dan seolah merajai dirinya sendiri. Merasa paling
sempurna. Idealis. Pecundang penuh gaya.
***
Semua
orang yang ada di sekitar kita sangat menghargai kejujuran. Karena bagi mereka,
kejujuran adalah kunci kepercayaan. Nggak peduli meskipun kejujuran itu membawa
dampak yang tidak baik, tapi yang namanya jujur, ya jujur.
Pernah nggak, kamu nutupin sesuatu dari temen soal keadaanmu?
Misalnya, kamu bilang ke mereka, kalo rumahmu itu besar. Ada kurang lebih 3 lantai,
dan di tiap lantainya memiliki ruang khusus keluarga, lengkap dengan fitur
karaoke. Padahal kenyataannya (maaf) kamu tinggal di rumah illegal, yang
dibangun di pinggir rel kereta. Jadi perasaanmu nggak akan tenang, kalo
sewaktu-waktu temenmu tau, kalo sebenernya, kamu tinggal di rumah lusuh yang
dibangun secara illegal. Ya, kan? Seandainya dari awal kamu jujur sama mereka
soal tempat tinggalmu, pasti mereka semua kagum sama kamu, dan mungkin aja,
mereka mau ngebantu kamu buat ngedapetin tempat tinggal yang jauh lebih layak
dari sekarang.
Asal kamu tau aja, temanmu nggak pernah ngeliat keadaan
ekonomimu. Karena yang mereka harapkan hanya kamu, bukan dompetmu, rekeningmu,
atau surat tanahmu.
Begitupun dengan pacar, sebelum kalian saling terikat, bilang
sejujurnya sama dia, kalo sebenernya kamu bukan anak yang terlahir dari tumpukan
harta. Toh, kalo tiba-tiba calon pacarmu ngejauh, itu tandanya dia nggak
sungguh-sungguh. Tapi kamu nggak perlu sedih, apalagi sampai galau, tugas kamu
cuma satu, harus lebih pinter lagi
nyeleksi 260juta penduduk Indonesia yang beberapa diantaranya naksir sama kamu.
Simpel banget kan?
***
Mulai sekarang, kalian harus berusaha jadi pribadi yang apa
adanya. Jujur sama keadaan. Kalaupun ada temen yang ngehina keadaan ekonomi
kalian, diemin aja. Anggap aja hinaan mereka adalah komponen kecil dari
semangat masa depan. Dengan begitu, kalian akan tau tentang bagaimana hebatnya
ledakan keberhasilan. Ledakan yang sudah kalian tanam dengan sabar. Dangan
sedikit komposisi keyakinan di dalamnya.
Well, sebenernya
apa sih yang bikin kalian malu untuk mengakui kenyataan? Minder? Atau takut
dijauhin sama temen karena kalian terlahir sebagai anak miskin? Atau… hei,
pernah nggak sih kalian mikir, kalo sebenernya orang miskin yang meledak itu
jauh lebih hebat ketimbang orang kaya yang hanya bisa mengumpat dibalik
kekayaannya. Lahir sebagai orang miskin itu nggak salah, yang salah adalah
menyesali kemiskinan, lalu hanya mengeluh kepada Tuhan, dan menganggap jika
hidup adalah siksaan sebelum mati.
Payah.
Anggapan seorang pecundang maha kuno.
***
Sekali lagi saya tegaskan, berusahalah jujur, meskipun
keadaan kalian tidak sebaik yang orang lain ingin dengar. Setidaknya dengan
jujur, semua orang akan tau siapa kamu, dan bagaimana cara memperlakukan
orang-orang sepertimu dengan baik.
Yakinkan diri sendiri, kalo pada kenyataannya, kejujuran
adalah karakter pahlawan sejati. Jauh lebih hebat ketimbang pahlawan super yang
bergelantungan di gedung-gedung dengan jaring laba-labanya. Dan jauh lebih
hebat ketimbang pahlawan super jelek yang warna kulitnya sungguh aneh, hijau
tua yang bahkan jauh lebih tua daripada komiknya.
Bagaimana?
Sudah siap untuk melakukan kejujuran? Jika sudah, lakukanlah!
So,
mulai sekarang, Jadilah pahlawan. Jadilah penggerak. Jadilah teladan. Dan
pastinya, jadilah superhero. Bukan untuk orang lain. Tapi untuk dirimu sendiri.
Karena semuanya dimulai dari diri sendiri.
BalasHapusKeren, aku suka tulisannya :)
Ketika kita berfikir ingin menjadi orang lain.. bukan berarti orang yang kita ingini juga berkeinginan jadi orang lain.. bahkan dia juga ingin menjadi kita..
BalasHapusKarakter adalah identitas.
Dan identitas adalah tanda pengenal.
Jadi lah diri sendiri dan berkarakterlah agar kita punya identitas dan tidak abu-abu..
Keren tulisannya (y)
Sebelum memikirkan orang lain, cobalah perbaiki dulu diri sendiri dengan JUJUR :)
BalasHapusYang jadi cewe sederhananya pasti Farhan
BalasHapusIh. Nggak. :p
Hapuskirei desune. amari suki desu^^
BalasHapusArigatou gozaimasu. ^^
HapusSadis. Keren nih tulisannya. Anyway, baru pertama kali kesini nih. Salam kenal ya. :))
BalasHapusSadis. Keren nih tulisannya. Anyway, baru pertama kali kesini nih. Salam kenal ya. :))
BalasHapusTulisan yang berdasarkan realita emang selalu menjadi refrensi orang-orang untuk kedepannya, great post!
BalasHapusterkeren yang pernah gua baca :)
Walaupan agak sedikit berlebihan, tapi, makasih ya.
Hapus