Kalo kamu pikir sopir bajaj itu nggak ada yang gaul, berarti
kamu salah besar. Beneran. Beberapa sopir bajaj biasanya memiliki sudut pandang
yang berbeda, lho, soal bagaimana mereka menjalani hidup. Wah, tunggu dulu..
kehidupan sopir bajaj nggak melulu soal uang, dan keluarga, kok. Kan ada juga
tukang bajaj yang masih remaja. Masih memikirkan kemana nasib asmaranya akan
bergantung. Gitu.
Nah, kamu pernah, gak, liat sopir bajaj yang tampilannya outstanding? Pasti nggak pernah, ya? Mungkin
karena tukang bajaj itu rata-rata simpel, nggak mau ribet. Setelan kaos oblong
sama jeans robek juga udah cukup.
“Wahileh, Tong, Tong, gue mane sempet begaye. Lagian kalo gue
begaye, siape juga yang mau liat? Kan penumpangnye duduk di belakang. Kagak
keliatan gue-nye!” Kilah sopir bajaj yang umurnya sudah menyentuh 99 tahun 11
bulan 29 hari.
***
Terlepas soal penampilan barusan, ternyata sopir bajaj juga
memiliki kisah asmara yang cukup menarik, lho. Pasti kamu semua nggak percaya
‘kan? Hihihi..
Awalnya saya juga nggak percaya, Tapi berhubung kisah ini
ada, jadi mau gak mau, saya kudu percaya. Berat juga, sih.
Jadi gini..
Semua berawal pada malam Sabtu yang kurang baik. Saat itu, tetesan
hujan tak hentinya membasahi daratan. Pun dengan suara tetesannya, yang seolah
mengajak anak-anak di sekitar untuk menari, mengikuti irama yang ada. Tapi
tidak untuk remaja pria bernama Paul (sebenernya nama aslinya Sugeng Cahyono,
cuma karena dia nge-fans berat sama Paul McCartney, jadinya dia lebih seneng di
panggil Paul), ya, Paul adalah seorang sopir bajaj berusia 22 tahun. Usia yang
sangat tepat untuk merajut kisah asmara. Makanya nggak heran, kalo waktu itu
dia keliatan murung banget. Kerjaannya mojooook terus di sudut kamar
kost-annya. Hih!
Hari demi hari telah ia lewati, sangat terlihat jika
kesedihannya semakin lama, semakin mendalam. Ia termengu di atas bilik bambu,
depan pangkalannya. Tiap kali ada penumpang yang datang, dia selalu diam, tanpa
mengeluarkan sepatah kata sekalipun. Meski terkadang ia menolaknya dengan
kalimat, “Sorry, bajaj gue rodanya
cuma tiga, jadi kurang oke kalo buat ngebut. Mendingan lo cari bajaj yang lain
aja, sana!”
***
Paul emang suka ngaco kalo ngomong, belakangan diketahui kalo
ternyata dia adalah pengidap aphasia, jadi maklumin aja kalo ngomongnya suka
ngaco. Maksud sama ucapannya nggak pernah selaras.
“Woi, Paul! Lo lagi ngapain?” tanya sahabat kost-nya.
“Hust! Jangan ganggu gue! Gue lagi kontroversi!” jawab Paul,
ketus.
“Kontroversi? Maksud lo, konsentrasi?”
“Iya, bener. Itu yang gue maksud! Uhm… apa tadi? Komunikasi,
ya?”
“KONSENTRASI!” bentak sahabat kost-nya.
“Nah, iya! Kontruksi!”
“…………………………………”
Percakapan di atas membuktikan kalo aphasia-nya si Paul
terlihat cukup kronis. Nggak bisa diobatin. Makanya nyokapnya Paul suka
mencak-mencak sendiri kalo berhadapan sama si Paul. Herannya, Paul suka begaya
macem Jurnalis gitu, make bahasa yang cenderung berat dan nyastra.
***
Oh, iya. Kamu pada tau, gak, kalo ternyata si Paul ini hobi
banget sama nulis? Paul emang menaruh minat pada hal-hal yang berhubungan
langsung dengan sastra, makanya dia selalu yakin, kalo kelak dia bakal jadi
penerusnya W. S. Rendra. Saking pengennya jadi penerus Rendra, Paul sampe nekat
ngerubah gayanya se-Rendra mungkin.
Semua itu terbukti ketika Paul membeli batagor. Singkat cerita,
abang batagor bertanya pada Paul, “Mau beli batagor berapa bungkus, mas?”
Paul tak langsung menjawab, ia hanya menunduk, kemudian
menaikkan kepalanya ke arah langit secara perlahan. Dan paul bergumam,
“Lihatlah, wahai saudaraku!” jari telunjuk Paul diarahkan ke arah
langit-langit, persis seperti Rendra ketika membacakan karya puisinya. “Apakah
dikau melihat, wahai saudaraku? Langit begitulah luas, bagaimana mungkin daku
bisa mendatangi seluruh peradaban langit? Ah, jika dikau tau betapa inginku
pergi kesana, dikau pasti tau, seberapa sakit sayatan-sayatan pilu yang
membekas di hati? Wahai saudaraku yang murah hati, ada baiknya jika daku
membeli batagormu, tak usah berlebihan, semua itu tidaklah baik, wahai saudara!
Jadi sudahlah daku putuskan untuk membeli batagormu. Cukup satu bungkus saja!
Oke?”
Tukang batagor terdiam, mulutnya ternganga lebar. Kemudian
dahinya tampak mengerut, “Eh, anak sableng! Gue tanya sama lo, apa hubungannya
batagor sama peradaban langit?!” tukas tukang batagor, “Emang lo pikir batagor
datengnya dari langit? Hah?! Elo pikir Tuhan yang nurunin batagor?! Gila,
berarti selama ini gue jualan makanan suci, dong?!”
“Bu-bukan seperti itu, saudaraku. Daku hanya
menganalogikannya saja, andai saja menjumpai peradaban langit sama mudahnya
seperti menjumpai penjual batagor seperti dikau, pastilah hidup ini lebih
sempurna. Bukan begitu, saudaraku tercinta?”
“Tetep aja kagak nyambung! Eh, atau jangan-jangan, elo
beranggapan kalo jaman prasejarah itu musnah bukan karena ujan meteor,
melainkan ujan batagor? Wah, serem juga ya, ternyata batagor bisa ngebunuh
jutaan makhluk purba?” ujar tukang batagor, diikuti oleh jemarinya yang terus
menggaruk-garuk rambut, “Eh, tunggu! Ini kenapa gue jadi ikutan bego, sih!”
Paul mendekatkan diri dengan tukang batagor, lalu sambil
tersenyum, dia berkata, “Maaf, saudaraku.. daku hanya ingin meluruskan asumsi
dikau, jika langit dan….”
“Berisik!” Tukang batagor memotong penjelasan Paul, “Udah,
deh! Jangan sok nyastra, tampang lo itu nggak ngedukung! Lagian ngapain sih,
elo begaya kayak gitu? Pengen jadi penerusnya Rendra? Beeeh, jauh! Elo mah
lebih mirip sama Mandra! Lagian anak PAUD juga tau, kalo batagor sama langit
itu gak punya relasi apa-apa! Dasar bocah sableng! Pergi sana! Huosh!!”
Paul merunduk kecewa, tatapannya kosong, ia sangat terpukul
oleh makian si Tukang batagor. Dan disaat yang bersamaan, Paul bergumam dalam
hati, “Entah kenapa, hari ini aku merasakan kesedihan yang sangat dalam.
Kesedihan ini bahkan jauh lebih buruk, ketimbang harus menghadiri pemakaman-ku
sendiri..”
Mulai saat itu, Paul mengurungkan niatnya untuk menjadi
sastrawan. Walau begitu, semangatnya untuk menulis tidak pernah padam. Malah ia
semakin giat mendalami aktifitas ini. Tiap kali ia merasa malas untuk menulis,
ia selalu ingat dengan Arswendo Atmowiloto. Ya, beliau adalah inspirator Paul
dalam menulis. Selera Paul dalam hal sastra memang cukup baik, jadi kamu semua
jangan heran, kalo sewaktu-waktu Paul bisa mengikuti jejak mereka. Hehehe..
***
Berhari-hari Paul menekuni hobinya. Sudah ratusan, bahkan ribuan
lembar kertas ia habiskan demi mencurahkan perasaannya yang kalut itu. Ya, Paul
tidak mempunyai cukup banyak uang untuk membeli Komputer, laptop, maupun mesin tik.
Makanya dia pernah berujar, “Tuhan, kenapa kalkulator tidak bisa digunakan
untuk mengetik?! Karena hanya benda itu yang mampu aku beli. Tolong Tuhan,
dipikirkan lagi fungsinya, ya ya ya? Biar orang susah kayak aku ini bisa
menyalurkan bakatnya. Plis, Tuhaaaan. Aku mohon! Hihihi..”
Meski begitu, Paul tak pernah mengeluh, walau tiap harinya ia
selalu menulis pengalamannya di atas selembar kertas. Apalagi dalam situasi
seperti ini, dimana Paul sedang dilanda pilu, lantaran perempuan yang dia
taksir, tak kunjung memberinya respon.
***
Paul
terus menulis kegelisahan hatinya. ia sampai lupa, jika pekerjaaan sesungguhnya
adalah sopir bajaj, bukan penulis. Ya, Paul menulis diary-nya dengan bahasa
yang sangat personal. Katanya, “Penulisan dengan gaya personal itu lebih mudah
dipahami oleh si pembaca, ketimbang penulisan yang cenderung nyastra.”
Idiiiiih, Sugeng! Keren banget sih, gayanya! Hihihi..
Seiring berjalannya waktu, Paul semakin tenggelam oleh
diary-nya. Ia terus menulis, seolah hari itu adalah hari terakhirnya untuk
hidup.
***
Kelihaiannnya dalam menulis terlihat dalam catatan hariannya.
Dalam diary-nya itu, Paul selalu menuangkan permasalahan asmaranya. Tak peduli
berapa banyak sahabat yang ia miliki, tapi untuk urusan curhat, Paul lebih mempercayai diary
sebagai penyalur semua itu.
Oh, iya! Berikut adalah isi diary yang baru aja Paul tulis beberapa jam yang lalu. Disimak, ya!
***
Jakarta, 9 Maret 2013 2014
Dear diary..
Hari ini gue ngerasa kacau banget.
Bayangin aja, udah beberapa bulan ini gue selalu ngasih perhatian lebih ke Vanya.
Ngingetin dia makan, ngingetin dia buat jaga kesehatan, ngingetin dia buat
sembahyang, dan sebagainya. Tapi cuma satu yang gak akan gue ingetin. Apakah
itu? Ya, bernafas. Coba aja elo bayangin. Kalo dia nggak gue ingetin buat
nafas, pasti dia nggak akan nafas. Otomatis ‘kan gue yang ngasih nafas buatan
ke dia. Hihihi..
By the way, kalian semua pasti gak kenal
Vanya, ya? Vanya itu anak bos gue. Uhuk, gue ulangin sekali lagi.. VANYA ITU
ANAK BOS GUE! oke, oke.. kedengerannya emang hiperbolis abis. Tapi mau gimana
lagi? katanya cinta itu buta, jadi untuk urusan status sosial, kayaknya gak
perlu dipikirin, deh. Iya ‘kan?
Vanya punya senyuman yang luar-biasa-manis.
Tiap kali senyum, ia selalu menaikkan alisnya. ‘pun dengan kepalanya, yang
selalu merunduk malu. Makanya gak heran, kalo banyak cowok yang kesem-sem sama
dia, termasuk si Badrun, sopir bajaj yang ngakunya paling kece itu.
Pernah sesekali si Badrun ngasih perhatian
lebih ke Vanya. Seperti hari Sabtu kemarin, si Badrun ngajakin Vanya pergi
nonton, tapi bokapnya Vanya langsung buru-buru nolak, kata beliau, “Dasar,
badut! Eh, maksudnya Badrun. Elo mau ngapain ngajak-ngajak si Vanya pergi?
Setoran bajaj lo aja selalu kurang. Mana sini, kemarin lo kurang dua puluh
ribu!”
Hihihi, jelas aja si Badrun langsung keki.
Lagian salah Badrun juga sih, kalo narik bajaj, nggak pernah serius. Kerjaannya
godain ceweeeeek mulu. Malah denger-denger, di samping bajaj-nya, Badrun naroh
kertas yang bertuliskan: “Kalo bukan gadis dibawah 25 tahun, nggak boleh naik. Lebih
baik cari bajaj yang lain aja!” hih, emang dasar si Badrun!
Tapi untuk urusan fisik, gue jelas kalah
sama si Badrun. Badrun lebih gagah, pembawaannya juga santai. Jadi terkesan
flamboyan gitu. Beda banget sama gue. bayangin, tinggi gue 180cm, tapi berat
badan gue cuma 45kg, jadi kalo lagi berdiri, gue malah lebih mirip cotton bud. Huaaaaaaa, tapi untuk urusan
setia, gue berani saingan deh sama dia. Beneran.
Oh, iya. Selama Badrun tau kalo gue naksir
sama Vanya, Badrun selalu menganggap gue sebagai saingannya, bukan sebagi
partner kerja-nya. Jadi tiap kali ketemu, dia selalu ngasih senyuman sinis ke
gue. agak serem juga sebenernya. Tapi mau
gimana lagi? namanya juga bersaing, pasti ada aroma-aroma kelicikan, dong?
Beberapa hari ini, gue nyoba buat lebih
deket sama Badrun, saling tegur sapa, saling melempar senyum, dan yang
terakhir, gue nyoba buat bikin dia ketawa. Tapi hasilnya? Tetep nggak ada! Dia emang
gak punya sense of humor, makanya tiap
kali dia deketin Vanya, Vanya selalu ngehindar. Wah, kesempatan nih buat gue!
hihihi..
Seiring berjalannya waktu, Badrun semakin
dalam mencintai Vanya. Dan seiring berjalannya waktu pula, Badrun semakin
meluapkan rasa kekesalannya. “Eh, Paul! Kemari lo!” kata si Badrun, dengan
tatapan tajam-nya, “Gini, selama ini gue tau, kalo elo naksir ama Vanya ‘kan? Udah,
deh. Mendingan elo nyerah aja sama gue. liat penampilan lo! Kumuh, kucel,
dekil, rambut acak-acakan. Idiiih, kayak perompak Somalia!”
Gue sebel, tapi gue nggak berani ngelawan.
“Kenapa lo diem doang? Takut? HAHAHA
tampang lo nyebelin banget kalo lagi takut.” Tukas Badrun, nyolot. “Sekarang
gini aja deh. Elo ama gue saling adu balap. Kita balapan bajaj. Siapa yang
menang, dia yang boleh deketin Vanya. Deal?”
“Ba-balapan bajaj?”
“Iya, balapan bajaj. Gimana? Kita pake
jalur Sudirman sebagai arena balapnya.”
“Oke kalo gitu. Deal!”
Gue menerima tantangan dari Badrun. Makan sore
harinya, gue langsung bergegas menuju jalur Sudirman. Disana, Badrun terlihat
lebih siap dibanding gue. liat aja, dia ngerombak abis-abisan bajaj-nya. Mulai dari
knalpot, body kit, sampe ke model roda-nya. Nggak tanggung-tanggung, dia make
roda sepeda fixie, nggak kebayang ‘kan, gimana jadinya kalo bajaj pake roda
sepeda fixie? Hihihi..
“Eh, Paul. Elo udah siap?” tanya Badrun.
“Keliatannya?” gue jawab santai.
“Oh, udah siap?”
“Belum, sih. hehehe”
Badrun kontan kesel, makanya dia langsung
ngejitak kepala gue sekeras mungkin. BUGH! Gue ngejerit kesakitan.
“Oke, kita start dari FX Senayan, dan finish
di Monas. Gimana? Berani?” tanya Badrun, “Kalo berani buru-buru deh,
nyalain mesin lo!”
Gue langsung nyalain mesin bajaj, aroma
persaingan semakin tercium. Dalam momen ini, gue ngerasa mirip banget sama Paul
Walker. Liat aja, namanya aja sama ‘kan? Sama-sama Paul. Wah, tunggu dulu! Jangan-jangan
nama asli Paul Walker itu… Sugeng Walker? Hiiiii…
Kami berdua bersiap-siap menarik gas.
1.. 2… 3… Go!
Badrun mengawali start dengan sangat baik, bajaj-nya melesat cepat, seperti kilat
yang sedang meluapkan amarahnya. Gue cuma bisa ngikutin dari belakang. Kebetulan
balapan ini bertema drag race, jadinya
kalo ada salah satu yang ketinggal di belakang, bakal sulit banget ngejarnya.
Keadaan jalur yang sepi, membuat kami
leluasa dalam pertandingan ini. Tepat di depan Stasiun Sudirman, Badrun
melakukan kesalahan. Tekanan ban yang terlalu keras, membuat ban-nya meledak. Dan
hanya menyisahkan dua ban. Depan satu, dan belakang satu. Badrun memaki bajaj-nya.
Ia sedang berada pada posisi chaos. “Anjing, gimana nih? Bisa kalah
gue!” tukas Badrun, kasar.
Gue menarik gas lebih dalam lagi, sekarang
gue berada tepat 10 meter di belakang Badrun. Jiwa balap gue bergelora. Sambil menambah
kecepatan, gue berteriak lantang, “BADRUN! ELO LUPA LAGI BALAPAN SAMA SIAPA?
KENALIN, NAMA GUE PAUL! PAUL WALKER!”
Wush! gue menyalip Badrun. Keadaan kini
berbalik. Gue berada di depan, sedang badrun dibelakang.
Gue berada di atas angin, bayang-bayang
wajah Vanya selalu mewarnai pikiran gue sejak menyalip Badrun tadi. Gue menambah
kecepatan, gue menambah gulir-gulir adrenalin, kepercayaan itu membuat gue
semakin yakin buat menang.
Tepat di depan Sarinah Mall, Badrun mulai
mendekat. Persaingan menjadi lebih sengit. Puluhan makian terlontar dari mulut
kami. Seolah di dalam diri kami hanya ada keyakinan untuk menang. Bukan yang
lain.
Untuk kesekian kalinya, gue menambah
kecepatan. Dan sesekali menengok ke arah kaca spion, untuk memastikan seberapa
jauh jarak antara gue dan Badrun. Saking asiknya ngeliat spion, gue sampe lupa,
kalo sejatinya ini bukan drag race! Ya,
buktinya garis finish berada tepat di
depan pagar Monas. Dengan kata lain, gue kudu ngelewatin Bundaran HI, sebelum
sampe ke finish line.
“Sialan! Bundaran HI! Mati gueeeeeeee!”
Gedubrak! Gue menerjang Bundaran HI dengan
kecepatan tinggi, bajaj hancur berkeping-keping. Badan gue remuk, pikiran gue
jelas kalang kabut. Sekarang bayang-bayang Vanya seolah sirna. Kini yang ada
hanya gumaman sedih, “Bagaimana caranya gue ngeganti semua kerusakan ini?”
Disaat yang bersamaan, Badrun menyalip,
dan tertawa terbahak-bahak. Hasilnya? Dia memenangkan pertandingan dan mencapai
finish line lebih cepat dari yang ia
bayangkan.
Vanya resmi menjadi milik Badrun. Gue kalah.
Gue nyerah. Dan pastinya, gue marah.
Sekarang tinggal bagaimana respon si
Vanya. Dia mau, atau nggak sama si Badrun? Ah, gue sih nggak peduli. Sekarang yang
jadi masalah adalah.. gue sedang berurusan dengan Negara, karena dengan
bodohnya, gue ngerusak Bundaran HI, yang sejak lama menjadi simbol penting kota
Jakarta.
Well,
diary ini gue persembahkan untuk dua orang yang paling gue cinta. Vanya dan
Pak Jokowi.
***
Begitulah isi diary Paul. Sedih, ya? Sekarang dia lagi
dirawat di RS. Pertamina. Kasian dia, menderita karena cinta. Hihihi..
PS: Cerita ini hanya fiksi belaka. Kalo kamu
pernah ketemu sama sopir bajaj kayak gini, saran gue lebih baik dibunuh aja.
bahaya kalo dibiarin idup. Hehehe.
ANJRIT GW JATUH CINTA SAMA PAUL :D
BalasHapusTutur bicaranya lancar, kenapa ga nulis buku aja?
BalasHapusHehe buku apa? Buku resep makanan?
Hapusabang-abang bajaj kayak begini? untung belum pernah gua temuin selama naik bajaj 2 bulan ini. ngomong-ngomong kok font tulisan nya pada beda-beda gitu ya :p
BalasHapusDari Sugeng jadi Paul? Epic! Iyee fontnya beda beda yaa. Kreatip yee.
BalasHapusDitunggu ya peluncuran bukunya :)
BalasHapusWuih, blog-ku dikomen ama anak sastra! :3
Hapusseru banget ceritanya tapi fontnya emang sengaja gitu ka? visit balik :)
BalasHapuspaling suka pas beli batagor. haha. lol.
BalasHapusBuat temen2 yg nanya soal font:
BalasHapusIya, beda2 font-nya, itu 'kan bagian diary si Paul. :))