Libur akademik
mengistirahatkan saya dari berbagai rutinitas harian. Satu-satunya kegitan
yang, setidaknya, menurut saya bermanfaat hanyalah membantu ibu melayani
pesanan pelanggan. Sudah hampir sebulan kami membuka usaha kuliner di rumah.
Hasilnya bisa dibilang lumayan. Setidaknya lebih baik ketimbang hanya berdiam
diri dan bermain gadget di kamar.
Rabu kemarin kami tidak
menerima pesanan sama sekali. Ibu saya hanya duduk di ruang tamu sambil
menonton acara yang menurutnya menarik. Sedangkan saya duduk di pelataran rumah
sambil membaca buku. Dalam buku tersebut saya
menemukan kalimat yang membuat saya terenyak sesaat. ‘Do we really exist?’
Saya meletakkan pembatas
buku di halaman terakhir yang saya baca. Kemudian menutup dan menaruhnya di
atas dada. Kembali pada lamunan yang tercipta karena kalimat sebelumnya. Apakah
kita benar-benar ada? Atau… apakah orang lain selain saya adalah objek
material? Hologram? Atau semua yang ada di dunia ini hanyalah mimpi panjang kita
di alam sesungguhnya?
Saya menampar pipi kanan
sebanyak dua kali, kemudian merebahkan tubuh dan memandang kosong ke arah
langit malam. Tenggelam oleh lamunan pertanyaan.
Hari Jum’at-nya saya
berkunjung ke Rumah Sakit daerah Bekasi. Kaki kanan adik saya patah karena
jatuh dari sepeda. Lututnya terbentur aspal sehingga tempurungnya pecah. Saya
dan ibu terpaksa menolak pesanan pelanggan. Waktu kami hanya dihabiskan di
dalam kamar berisi tiga manusia yang sedang merintih kesakitan.
Kasur adik saya berada
di antara dua pasien lain. Meski kondisinya mengkhawatirkan, namun saya masih
bisa bersyukur setelah melihat dua pasien di sisi kiri dan kanannya. Pasien
sebelah kiri mengalami stroke. Tubuhnya tidak bisa dikendalikan. Setiap hari
hanya mendesah karena hasratnya untuk bergerak tidak diamini oleh persendiannya.
Pasien sebelah kanan lebih menyedihkan. Tulang pinggang dan kakinya patah
karena kecelakaan. Usianya baru 24 tahun. Kecelakaannya terjadi ketika sedang
balapan di jalan ibukota. Bagian depan motornya bertemu bagian depan motor
lain, dengan kecepatan tinggi dan dengan kesadaran yang setengah-setengah.
Sekarang dia terancam kehilangan kakinya. Lebih dari itu, bahkan ia akan
kehilangan masa depannya.
Saya kembali merenung,
dan bertanya pada lampu yang berderet di langit-langit kamar, “Siapa sebenarnya
kita? Apakah Tuhan menciptakan hologram-hologram itu agar saya (sebagai
individu satu-satunya di muka bumi) senantiasa mengucap syukur?
Usia saya 20 tahun.
Dan saya belum
benar-benar mengerti arti sebuah kehidupan.
Seorang guru selalu
mengatakan bahwa hidup adalah anugerah. Sejak kecil saya selalu terdoktrin
dengan kalimat sejenis. Mereka menambahkan lagi bahwa hidup adalah sesuatu yang
perlu kita syukuri. Saya mengangguk, mengiyakan, dan merasa bahwa hidup
benar-benar nikmat.
Tapi apakah di dunia ini
ada sesuatu yang benar-benar mutlak?
Jawabannya tidak.
Kenikmatan hidup hanya bertahan
sementara. Ketika melihat adik saya yang kakinya patah, saya tidak bisa
mengatakan bahwa hidup adalah nikmat. Pasien stroke dan patah tulang yang
terbaring di kedua sisi adik saya juga pasti mempercayai hal serupa. Bahwa
hidup adalah kesulitan yang menyelimuti kebahagiaan. Manusia hanya menunggu,
sampai kapan kebahagiaannya kelak akan berakhir.
Hidup.
Apa sebenarnya tujuan
Pencipta menaburi semesta dengan kehidupan?
Manusia berjalan di
tepian laut, ikan-ikan berenang di dalamnya, burung-burung melayang mengepakkan
sayap di udara, cacing-cacing meliukkan tubuhnya di dalam tanah. Siapakah
sebenarnya kita? Mengapa dari sekian banyak makhluk hidup hanya manusia
satu-satunya sosok yang memegang kendali atas dunia? Mengapa manusia menjadi
satu-satunya sosok yang dalam dirinya dibekali oleh banyak naluri dan emosi?
Saya pernah membayangkan seandainya manusia hanya memiliki satu naluri dan
emosi, pasti dunia ini tidak mengalami perpecahan karena perbedaan pendapat dan
pandangan. Semua berjalan lurus sesuai keinginan kita.
Salah seorang teman
pernah bertanya pada saya, “Kamu percaya kehidupan setelah mati?”
Bagi orang beragama,
pertanyaan seperti ini hanya akan dijawab dengan anggukkan kepala.
“Aku nggak percaya,”
kata dia, tiba-tiba. “Syurga dan Neraka adalah hasil imajinasi manusia yang
selama hidup di dunia tak pernah mendapatkan keadilan!”
“Kamu salah.”
“Gambaran akhirat
terlalu imajinatif untuk dipercayai!”
Saya tersenyum datar.
Wajah saya mendekat ke wajahnya. “Seandainya ada kehidupan lain sebelum
kehidupan di bumi. Pasti penghuninya bakal beranggapan bahwa kehidupan di bumi
adalah imajinasi orang yang tidak mendapat keadilan di kehidupan sebelumnya.”
Ia meraba-raba kalimat
saya, seperti tidak memahaminya betul.
Saya melanjutkan.
“Manusia adalah makhluk paling egois. Kita hanya mau mempercayai segala sesuatu
yang tampak.”
“Tapi kita nyata.”
“Omong kosong, semua hal
yang kamu pikir nyata sebenernya cuma sebatas bayangan!”
“Hasil refleksi dari
dunia setelah ini?”
“Mungkin aja.”
Saya duduk di tepian
ruangan, memadamkan lampu dan memejamkan mata. Saya kembali teringat pada
tuduhan yang pernah saya ucapkan dalam hati beberapa waktu lalu. Bahwa saya
adalah satu-satunya makhluk di bumi ini. Manusia, hewan, dan benda lain yang
tampak adalah hiasan. Sang Arsitek sengaja meletakkan semuanya semata-mata
untuk menemani sekaligus menguji keteguhan hati saya.
Teman saya menyentakkan
kedua telapak tangannya ke meja. “Solipsisme?”
Saya mengangguk. “Kamu
pernah nonton film Submarine?”
“Pernah. Selain tokohnya
ganteng, jalan pikirnya juga menarik,” katanya. “Menurutku nih,–cuma
perkiraanku aja—penganut solipsisme sebenernya cuma sekumpulan manusia yang
males keluar rumah. Kayak kamu ini.”
Bisa jadi, batin saya
berkata. Saya pernah memecahkan kacamata di tempat yang jauh dari rumah. Dengan
minus mata yang cukup tinggi (-5), saya melihat semuanya serba tidak nyata. Blawur kata orang Jawa. Apakah
ketidaknyataan ini diakibatkan oleh kemampuan mata kita yang lemah? Sehingga
tidak bisa melihat semuanya dengan sempurna? Dan, apakah dengan kemampuan mata
yang lebih baik kita bisa melihat wujud Sang Arsitek? Entahlah.
“Kalau dunia pararel,
kamu percaya?”
“Nggak terlalu,”
katanya. “Tidak ada bedanya dengan akherat, bukan?”
“Maksudmu?”
“Kenyataannya masih
abu-abu, tapi selalu menarik untuk dibahas.”
Sebagai muslim, saya
hanya bisa mendengus. “Ada banyak hal di dunia ini yang manusia nggak akan
mungkin bisa menggapainya,” kataku. “Seperti: kita hanya mengerti nama benda
setelah benda itu diciptakan. Kamu bilang benda itu adalah lemari, karena
memiliki pintu dan digunakan untuk menyimpan baju. Seandainya benda itu
digunakan untuk menyimpan makanan-minuman dan memiliki suhu yang dingin, kamu
pasti nggak akan sekedar menyebutnya sebagai lemari, melainkan lemari es, atau
kulkas!”
“Maksudmu?”
“Begini—semisal aku
mengatakan nama benda ‘Tozkiyozo’, kamu pasti nggak akan mengerti. Karena
selain kamu belum pernah mendengarnya, nama benda itu juga nggak pernah ada.”
Dia menjentikkan
jarinya. “Sekarang aku paham!”
“Syukurlah kalau
begitu.”
“Aku tertarik sama
pembicaraan kita,” katanya. “Sangat.”
“Apa yang paling
membuatmu tertarik?”
“Semuanya, termasuk
penamaan benda tadi.”
Saya tersenyum, dia
mengambil ponsel dari dalam sakunya dan meletakkannya di atas meja. “Tiga puluh
tahun lalu, nggak ada seorang pun yang mengenal kata ‘handphone’, karena kata itu belum memiliki wujud. Sekarang beda
lagi. Kita sudah tau wujudnya sehingga dengan mudah kita mengenali bahwa benda
ini adalah handphone!”
“Jadi?”
“Kehidupan setelah mati
kemungkinan ada.”
Saya tertawa, terkekeh-kekeh.
“Justru yang seharusnya kamu ragukan adalah kehidupan di bumi ini.”
“Yah… setidaknya
kepercayaan itu pernah aku renungkan setelah menonton film Mr. Nobody.”
“Eh? Bagaimana mungkin?”
“Begini, sejak awal
habitat kita memang di akherat. Lalu kita tertidur, dan kehidupan di bumi
sekarang ini adalah gambaran dari mimpi kita.”
“Jadi kamu percaya
dilatasi waktu?”
“Tentu,” katanya. “Bumi
dan akherat pasti memiliki waktu yang berbeda. Jadi—ini hanya sekedar khayalan
dan perkiraanku aja—sekali tertidur, kita dapat bermimpi hingga
bertahun-tahun.”
“Jadi maksudmu, kalau
ada seseorang yang mati, itu pertanda bahwa dia telah bangun dari tidur
panjangnya?”
“Nah!”
“Dan melanjutkan
hidupnya di dunia sesungguhnya?”
“Tepat sekali.”
Menarik! Sebelumnya saya
hanya menganggap percakapan ini sebagai guyonan, tapi lama-lama ikut hanyut
oleh imajinasinya.
“Menurutmu, apakah
percakapan kita ini memiliki kemungkinan benar?” ia bertanya dengan sedikit
memiringkan kepalanya ke samping.
“Kebenaran terbuat dari kontradiksi, itu yang pernah Jane
Austen—penulis Pride and Prejudice—katakan.”
“Kamu selalu percaya
buku.”
“Hanya buku-buku
karangan penulis kesukaanku.”
Sewaktu sekolah dulu,
saya selalu membayangkan tentang kebenaran yang mutlak. Bahkan bayangan itu
belum hilang hingga usiaku memasuki 20 tahun. Di semester empat lalu, saya
pernah menanyakan hal serupa pada dosen filsafat.
“Bu, apakah ada
kebenaran yang mutlak di dunia ini?”
Beliau hanya
menggelengkan kepalanya. “Kemutlakan hanya milik Tuhan.”
Seketika saya langsung
membuat kesimpulan. Selain terbuat dari kontradiksi, kebenaran juga terbuat
dari persetujuan. Seandainya sejuta tahun lalu manusia setuju bahwa ‘memakai
baju dan celana’ adalah perbuatan salah, maka ‘telanjang’ akan menjadi hal umum
yang kita anggap benar. Sederhananya, kebenaran tak akan dianggap benar jika
persetujuaannya hanya melibatkan sedikit golongan.
“Berarti bukan Tuhan
yang menentukan benar atau salah?”
Dosen saya diam lama
sekali, mematung. Kakinya seperti terpaku dengan tanah.
“Atau manusia sudah
dilengkapi oleh naluri untuk membedakannya?”
“Kemungkinan iya.”
Jelas saja tidak ada
sesuatu yang mutlak di dunia ini. Semua serba setengah-setengah. Atau memiliki
ketimpangan yang bisa diukur dengan skala persentase. Kesopanan juga seperti
itu. Tidak ada parameter pasti mengenai kesopanan manusia. Setiap daerah
memiliki pertimbangannya masing-masing, sehingga kita—sebagai manusia—harus
bisa menyesuaikan. Kalau di Indonesia membungkukkan badan sambil mengatakan
‘permisi’ di tengah kerumunan bisa dikategorikan sebagai perilaku baik dan
sopan, maka beda lagi di Brazil. Kita bisa dituduh sebagai orang gila. Lebih
buruk dari itu, mereka menganggap hal itu sebagai guyonan yang tidak pantas.
Jadi kamu masih beranggapan
bahwa hidup itu sederhana?
Atau,
Menganggap bahwa hidup
itu nikmat?
Pikir lagi.
Siapa tahu kamu sedang
terbelenggu oleh kekeliruan.
Bookmark dulu ah~
BalasHapus