Rasanya aku ingin sekali berlibur ke Amsterdam: jalan-jalan
santai di tepian kanal, berkunjung ke Rijksmuseum, atau sekedar menghabiskan
sore di Vondelpark.
Tapi Belgia juga indah. Mereka punya Brussel. Aku bisa
ngopi-ngopi cantik di Place St. Gerry. Sepulangnya, aku bersepeda melintasi Rue
Neuve. Setiap akhir pekan mereka menjual barang-barang murah!
Lalu, bagaimana dengan Amerika Serikat? Meski
kebanyakan pengunjung memilih kota-kota ramai sebagai tujuan berwisata, aku
justru menyukai kota tenang seperti North Carolina. Manusia macam apa yang
tidak mengagumi desa secantik Southport! Kano yang berbaris di tepian
danau itu benar-benar mengagumkan!
Selanjutnya aku akan pergi ke—hei, tunggu dulu! Bagaimana
aku bisa berkunjung ke tempat-tempat indah, sementara bekerja saja belum?!
“Solusinya
sederhana, kok: baca saja buku.
…. Kamu
bisa menjelajah dunia dengan biaya tak seberapa!”
***
Sebenarnya
tulisan ini didasari dari sebuah percakapan kecil. Waktu itu Sabtu sore. Aku
duduk di meja kayu berdua bersama seorang teman. Dia memesan teh hangat, sebab
cuaca memang sedang dingin-dinginnya. Aku berusaha menghormati pilihannya
dengan memesan minuman yang sama. Padahal, kalau boleh jujur, aku lebih
menyukai kopi hitam!
Baiklah,
lupakan tentang minuman. Jadi, di tengah-tengah obrolan tentang perpolitikan
negara kita yang sedang carut-marut, temanku tiba-tiba berkata, “Farhan, saya
yakin kalau masalah yang sedang kita hadapi ini sebenernya tentang
kesalahpahaman. Atau mungkin, tentang keyakinan yang terus-terusan didesak oleh
pemahaman golongan?” mendengar itu, aku mengangguk yakin. Masyarakat kita
memang belum bisa berpikir mandiri. Suara-suara sumbang, yang bersumber dari
satu golongan, selalu dipercaya sebagai suara kebenaran. Apapun itu, entah baik
atau buruk, terima saja. Konsekuensi soal nanti, yang utama adalah
kolektivitas. Begitu pikir mereka.
Tak
lama setelahnya temanku kembali melanjutkan, “Mungkin karena mereka kurang
membaca buku?”
“Bisa
jadi.” Jawabku singkat.