Ibuku pernah bilang, “Kalo kamu jatuh cinta, tulis sebuah surat.
Kalo kamu memendam cinta, simpan sebuah surat.”
Awalnya aku kurang paham
dengan ucapan ibu. Kata ‘simpan’ di sini memiliki arti yang ganda; pertama,
simpan bisa berarti disembunyikan; kedua, simpan bisa berarti
kemunculan-yang-sedikit-ditunda.
Sampai pada akhirnya ibu
melanjutkan, “Simpan, demi kebaikanmu
kelak.”
Simpan,
demi kebaikanmu kelak. Yeah! Itu tandanya ‘simpan’ memiliki
arti yang cukup baik. Eufemisme dari kata harapan. Maksudku, suatu saat nanti,
surat ini akan dibuka dan dibaca oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
kalimat yang kita rangkai tersebut. Jadi aku menatap wajah ibu, lalu berkata
dengan suara parau, “Bu, aku mau nulis surat untuk calon istriku.”
Ibu menarik napas
dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Silahkan,” katanya.
“Jangan membuat calon istrimu menunggu.”
Aku mengangguk—berpaling
dari wajah ibu, kemudian mengambil sebuah pena, dan selembar kertas putih
bergaris. Lalu, pada detik itu juga, aku mulai menulis sebuah surat.