9 Sep 2013

Kenapa Kita Harus Jadi Penuntut?

 “Pokoknya aku gak mau sekolah, kalo Mama ama Papa gak beliin aku motor!”
        
Sebel nggak, sih, kalo kalian denger kalimat kayak gini? Entah itu di Sinetron, di Reality Show, ato di kehidupan nyata.

        Banyak hal yang mendasari munculnya kalimat seperti ini, entah itu karena godaan temen, mengikuti perkumpulan, ato karena gengsi, lantaran apa yang temen-temennya miliki, tidak (juga) dimiliki oleh dirinya. Apa itu suatu masalah? Kayaknya nggak, deh. Apalagi yang mengucapkan kalimat seperti itu (rata-rata) adalah pelajar SMA, yang notabennya adalah posisi tertinggi dalam jenjang pendidikan sekolah wajib. Ih, kampungan banget :’)

Ato, nggak.. mulai sekarang dirubah kalimatnya, jadi:

“Pokoknya aku gak mau dibeli-in motor, kalo Mama ama Papa gak nyuruh aku Sekolah!”

        Kalimatnya jadi keren, kan? Iya, dong. Dimana-dimana, pendidikan harus di ‘nomor-satu-kan’.

        So, gue merasa beruntung hidup dalam keterbatasan finansial. Setidaknya gue selalu meraih segalanya sesuai kemampuan gue, bukan nuntut ke orang tua. mau beli sepatu, nabung. Mau beli tas, nabung. Mau beli gadget, nabung. Cuma beli sempak doang yang bukan hasil nabung.

        Banyak hal yang bisa dibandingkan antara ‘penuntut’ dan ‘pencari’. Contohnya itu tadi, penuntut hanya ingin segala-galanya dengan cara instan. Padahal yang instan-instan hanya akan menghasilkan kesenangan, bukan kebahagiaan. Beda sama pencari, pencari menginginkan segala-galanya lewat usaha dia sendiri. Setiap kali orang terdeketnya ngomong: “Udah, biar gue aja yang ngelakuin..” dia selalu jawab: “Nggak, ah. Gue masih bisa sendiri, kok”. Nah, pertanyaan gue, kerenan mana, Penuntut atau Pencari?